MANUSIA DILAHIRKAN DALAM KEADAAN FITRAH

MANUSIA DILAHIRKAN DALAM KEADAAN FITRAH

Dr. Sulaiman Al-Kumayi

Direktur Institut Studi Islam dan Perdamaian (INSISMA)

 Manusia pada asalnya berada dalam fitrah. Ketika manusia berada di alam ruh telah ditanya oleh Allah: “Bukankah Aku ini Tuhan kamu”; maka mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi” (QS. Al-A`raf [7]: 172). Selengkapnya Allah berfirman: Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Akui ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)” (QS. Al-A`raf [7]: 172).

Ayat ini berbicara persoalan fitrah dan akidah yang benar yang ditetapkan oleh Allah di alam gaib yang sangat jauh, yang tersembunyi di dalam sulbi anak-anak Adam sebelum mereka lahir ke alam nyata. Anak keturunan yang masih dalam genggaman Sang Maha Pencipta lagi Maha Pemelihara. Lalu, diambil perjanjian dari mereka dengan mengatakan, “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Maka, mereka mengakui rububiyyah Allah, mengakui bahwa hanya Dia yang berhak diibadahi. Mereka bersaksi bahwa Dia adalah Maha Esa. Persaksian ini telah ditetapkan Allah sebagai fitrah manusia dan menjadi sifat dasar manusia sebagaimana firman Allah: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah. Tetaplah pada fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah” (QS. Ar-Rum [30]: 30).

M. Quraish Shihab, dalam Tafsir Al-Mishbah (2003, XI: 56), menegaskan bahwa fitrah dalam ayat ini berarti agama Islam. Shihab mengutip pendapat Thahir Ibn `Asyur yang menyatakan bahwa prinsip kepercayaan akidah Islam sejalan dengan fitrah akliah manusia.  Adapun hukum-hukum syariat serta rinciannya, maka itu bisa merupakan hal-hal yang juga fitri yakni sesuai serta didukung oleh akal yang sehat, atau bahwa dia tidak bertentangan dengan fitrahnya. Namun Ibn `Asyur menggarisbawahi bahwa ada petunjuk fitrah yang sangat jelas dan ada juga yang samar dan sulit. Para ulama dan cendekiawan bertugas menjelaskan yang samar itu karena mereka yang banyak mengenal tabiat manusia, serta telah teruji pemahaman mereka dengan pengalaman memahami syariat. Hati mereka pun cenderung pada kebenaran, tidak terbelokkan oleh hawa nafsu.

Thabathaba`i menulis bahwa agama tidak lain kecuali kebutuhan hidup serta jalan yang harus ditempuh manusia agar mencapai kebahagiaan hidupnya. Manusia tidak menghendaki sesuatu melebihi kebahagiaan. Allah Swt telah memberi petunjuk kepada setiap jenis makhluk—melalui fitrahnya dan sesuai dengan jenisnya—petunjuk menuju kebahagiaannya yang merupakan tujuan hidupnya. Allah juga telah menyediakan untuknya sarana yang sesuai dengan tujuan itu. Allah berfirman: “Tuhan kita ialah (Tuhan) yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk” (QS. Thaha [20]: 50).

Hadis-hadis Rasulullah Saw telah menjelaskan eksisten kefitrahan yang dimiliki manusia ini.

Rasulullah bersabda:

مَامِنْ مَوْلُوْدٍ يُـوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانَهُ أَوْيُنَصِّرَانَهُ أَوْيُمَجِّسَانَهُ (رواه مسلم)

“Tidaklah dilahirkan seorang anak melainkan dalam keadaan fitrah. Maka kedua ibu bapanyalah yang meyahudikannya atau menasranikannya atau memajusikannya.”

كُلُّ مَوْلُوْدٍ يَـوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ- وَفِى رِوَايَةٍ: عَلَى هَذِهِ الْمِلَّةِ- فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانَهُ أَوْيُنَصِّرَانَهُ أَوْيُمَجِّسَانَهُ، كَمَا تُوْلَدُ بَهِيْمَةٌ جَمْعَاءَ، هَلْ تُحِسُّوْنَ فِيْهَا مِنْ جَدْعَاءَ؟

Setiap anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah”—dalam riwayat lain disebutkan: “Dalam keadaan memeluk agama ini—Maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan Yahudi, Nasrani atau Majusi sebagaimana seekor binatang dilahirkan dalam keadaan utuh (sempurna), apakah kalian mendapatinya dalam keadaan terpotong (cacat)” (HR. Bukhari dan Muslim).

Sebuah riwayat yang diberikan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, yang ia terima dari Ismail, dan Ismail menerimanya dari Yunus bin Al-Hasan dan ia menerimanya dari Al-Aswad bin Sarii`, ia berkata:

أَتَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَغَزَوْتُ مَعَهُ فَأَصَبْتُ ظَفَرًا، فَقَاتَلَ النَّاسُ حَتّٰى قَتَلُوا الْوِلْدَانِ، فَبَلَغَ ذٰلِكَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: مَابَالُ أَقْوَامٍ جَاوَزَهُمُ اْلقَتْلُ  اْليَوْمَ حَتّٰى قَتَلُوا الذُّرِّيَةَ؟ فَقَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُوْلَ اللهِ  أَمَاهُمْ أَبْـنَاءُ اْلمُشْرِكِيْنَ، ثُمَّ قَالَ: لاَتَقْتُلُوْا ذُرِّيَّةً،  لاَتَقْتُلُوْا ذُرِّيَّةً، وَقَالَ: كُلُّ نَسْمَةٍ تُـوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ حَتّٰى يُعْرَبَ عَنْهَا لِسَانُهَا، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهَا أَوْ يُنَصِّرَانِهَا (رواه النـسائ)

Aku datang kepada Rasulullah Saw, lalu aku pergi berperang bersama beliau, maka aku pun mendapat kemenangan. Orang-orang pun hebat berperang di hari itu, sampai ada yang membunuh anak-anak. Maka sampailah berita itu kepada Rasulullah Saw. Lalu beliau bersabda: “Apa namanya perbuatan kaum itu. Mereka telah melampaui batas dalam hal membunuh di hari ini, sampai keturunan mereka (anak-anak) pun dibunuhi.” Seorang laki-laki berkata: “Ya Rasulullah, bukankah anak-anak yang dibunuh itu adalah anak-anak musyrikin?” Rasulullah bersabda: “Jangan begitu! Ingatlah bahwa yang terkemuka di antara kamu sekarang ini adalah anak-anak dari orang-orang musyrikin. Jangan dibunuh keturunan, jangan dibunuh keturunan. Ingatlah bahwa tiap-tiap orang dilahirkan dalam keadaan fitrah, sampai lidahnya bisa berucap. Ayah bundayalah yang meyahudikan atau menasranikan.” (HR. An-Nasa’i).

Dalam Shahih Muslim diriwayatkan dari `Iyadh bin Himar, ia berkata, Rasulullah Saw bersabda:

يَقُوْلُ اللهُ: إِنِّى خَلَقْتُ عِبَادِيْ حُنَفَاءَ فَـجَاءَتْهُمُ الشَّـيَاطِيْنُ فَاجْتَالَتْهُمْ عَنْ دِيْنِهِمْ وَحَرَّمَتْ عَلَيْهِمْ مَاأَحْلَلْتُ لَهُمْ

Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku telah menciptakan hamba-hamba-Ku dalam keadaan hanif (lurus). Maka datanglah setan-setan kepada mereka, lalu menyimpangkan mereka dari agamanya dan mengharamkan bagi mereka apa yang telah Aku halalkan bagi mereka.”

Adabeberapa hadis tentang pengambilan anak keturunan manusia ini dari tulang sulbi Adam as dan mereka dibedakan menjadi Ashhab Al-Yamin (golongan kanan atau ahli surga) dan Ashhab Asy-Syimal (golongan kiri atau ahli neraka). Pada hadis tersebut disebutkan adanya pengambilan kesaksian terhadap mereka bahwa Allah adalah Tuhan mereka. Imam Ahmad meriwayatkan dari Anas bin Malik ra, dari Nabi Saw, beliau bersabda:

يُقَالُ لِلرَّجُلِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ يَـوْمَ الْقِيَامَةِ: أَرَأَيْتَ لَوْ كَانَ لَكَ مَاعَلَى اْلأَرْضِ مِنْ شَيْءٍ أَكُنْتَ مُفْتَدِيًابِهِ؟ قَالَ، فَيَقُوْلُ: نَعَمْ، فَيَقُوْلُ: قَدْ أَرَدْتُ مِنْكَ أَهْوَنَ مِنْ ذٰلِكَ، قَدْ أَخَذْتُ عَلَيْكَ فِى ظَهْرِهِ آدَمَ أَنْ لاَتُشْرِكَ بِيْ شَيْئًا، فَأَبَيْتَ إِلاَّ أَنْ تُشْرِكَ بِيْ

Ditanyakan kepada salah seorang penghuni neraka pada hari Kiamat kelak: ‘Bagaimana pendapatmu jika engkau mempunyai sesuatu di atas bumi, apakah engkau bersedia untuk menjadikannya sebagai tebusan?’ Maka ia menjawab: ‘Ya, bersedia.’ Kemudian Allah berfirman: ‘Sesungguhnya Aku telah menghendaki darimu sesuatu yang lebih ringan dari itu. Aku telah mengambil perjanjian darimu ketika masih berada di punggung Adam, yaitu agar engkau tidak menyekutukan Aku dengan sesuatu pun, tetapi engkau menolak, dan tetap mempersekutukan Aku.’” (HR. Bukhari dan Muslim).

Ada hadis lain, diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Muslim bin Yasar Al-Juhani, bahwa Umar bin Al-Khaththab ra pernah ditanya mengenai ayat ini, ‘Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Akui ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi’(QS. Al-A`raf [7]: 172). Maka, Umar pun menjawab, aku mendengar Rasulullah saw ditanya mengenai ayat tersebut, kemudian beliau menjawab:

إِنَّ اللهَ خَلَقَ آدَمَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ ثُمَّ مَسَحَ ظَهْرَهُ بِيَمِيْنِهِ، فَاسْتَخْرَجَ مِنْهُ ذُرِّيَّةً، قَالَ: خَلَقْتُ هَؤُلاَءِ لِلْجَنَّةِ وَبِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ يَعْمَلُوْنَ، ثُمَّ مَسَحَ ظَهْرَهُ فَاسْتَخْرَجَ مِنْهُ ذُرِّيَّةً، قَالَ: خَلَقْتُ هَؤُلاَءِ لِلنَّارِ وَبِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ يَعْمَلُوْنَ. فَـقَالَ الرَّجُلُ: يَارَسُوْلَ اللهِ فَفِيْمَ الْعَمَلُ؟ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا خَلَقَ اللهُ الْعَبْدَ لِلْجَنَّةِ، اِسْتَعْمَلَهُ بِأَعْمَالِ أَهْلِ الْجَنَّةِ، حَتّٰى يَمُوْتَ عَلَى عَمَلٍ مِنْ أَعْمَالِ أَهْلِ الْجَنَّةِ، فَيُدْخِلُهُ بِهِ الْجَنَّةَ. وَإِذَا خَلَقَ الْعَبْدَ لِلنَّارِ، اِسْتَعْمَلَهُ بِأَعْمَالِ أَهْلِ النَّارِ، حَتّٰى يَمُوْتَ عَلَى عَمَلٍ مِنْ أَعْمَالِ أَهْلِ النَّارِ، فَيُدْخِلُهُ بِهِ النَّارَ

“Sesungguhnya Allah menciptakan Adam as, lalu Allah mengusap punggungnya dengan tangan kanan-Nya, maka keluarlah darinya keturunannya dan Allah berfirman, ‘Aku telah menciptakan mereka sebagai ahli surga dan dengan amalan ahli surga mereka beramal.’ Lalu mengusap lagi punggungnya dan mengeluarkan darinya keturunan yang lain, Allah pun berfirman, ‘Aku telah menciptakan mereka ahli neraka dan dengan amalan ahli neraka mereka beramal.’ Kemudian ada seseorang yang bertanya, ‘Ya Rasulullah, lalu untuk apa kita beramal?’ Beliau menjawab, ‘Sesungguhnya, jika Allah menciptakan seorang hamba sebagai penghuni surga, maka Allah menjadikannya berbuat dengan amalan penghuni surga sehingga ia meninggal dunia di atas amalan-amalan penghuni surga lalu ia dimasukkan ke dalam surga karenanya. Dan jika Allah menciptakan seorang hamba sebagai penghuni neraka, maka Dia akan menjadikannya berbuat dengan amalan penghuni neraka sehingga ia meninggal dunia di atas amalan dari amalan-amalan penghuni neraka lalu ia dimasukkan ke dalam neraka karenanya.’”  (HR. Abu Dawud, An-Nasa’i, At-Turmidzi, dan Ibnu Hibban). []

Leave a comment