MENGENALKAN PEMIKIRAN MUHAMMAD FETHULLAH GULEN

Indeed, he saw (one or some among) the supreme signs of His Lord. (An-Najm 53:18)

By Muhammad Fethullah Gulen

لَقَدْ رَأٰى مِنْ اٰيَاتِ رَبِّهِ الْكُبْرٰى
Indeed, he saw (one or some among) the supreme signs of His Lord.

This verse is in the sūrah that describes our master Prophet Muhammad’s Ascension, and it relates to the Ascension. In addition to its particular relation to the Prophet, upon him be peace and blessings, it contains many other truths.

It is a favor and result of the Prophet’s Ascension that he saw the signs and proofs of God’s existence and Unity and of all other truths of faith in the universe and in humanity and observed and perceived them in his heart and spirit. Since that most illustrious person had a universal vision and observation, he saw and observed those signs and proofs, which the verse under discussion calls the “supreme signs.” He saw or observed Divine manifestations explicitly without any veils. Other people cannot say any-thing in opposition to the sayings and description of one who had such uni-versal vision and observation. Even the vision and observation of those who observe the heavens from the earth and those of the people who cannot detect even what is before them will be utterly different.

The verse has a structure which can give rise to two meanings. The preposition “min” may either be used in the meaning of “from among,” or it functions as an explanatory word. In the first case the meaning is, “Indeed, he saw (one or some among) the supreme signs of His Lord.” In the second case, the meaning is, “Indeed, he saw the supreme signs of His Lord.” No mat-ter which meaning is preferable, the truth in either case is that during his Ascension or travel through and beyond time and place, that matchless person with a universal vision and hearing saw such supreme signs, proofs, and miracles of God Almighty’s Lordship and such marvels of creation that it is not possible to express or describe the Divine manifestations he saw in the realms through which he traveled. Only he saw, heard, and felt the mysteries and lights in the horizons that he traveled, and it is not possible for anyone else to be able to achieve such a universal vision and observation. For one who is not as great as that person, namely Prophet Muhammad, upon him be peace and blessings, cannot see or observe the “supreme signs,” for this observation is exclusive to his matchless rank.

What is meant by the “supreme sign” is not the Divine Being, the Unique and Eternally Besought One. Therefore our Prophet did not see the Divine Himself, but he saw His supreme signs—the most comprehensive and universal signs and proofs of His existence and Unity and other truths of faith. He observed the whole creation in its physical and metaphysical dimensions and its dimension of time and place. Even though it is abso-lutely impossible to comprehend the Divine Being, as it is stated in, “The eyes cannot comprehend and perceive Him” (Al-An‘ām 6:103), in one respect it is possible to “see” God with the eye of the heart or have vision of God. However, what our Prophet saw or observed during his Ascension was not Him but His supreme or the greatest or most comprehensive signs.

The vision and observation of God’s Messenger can also be viewed as his reading of his own truth as if a book or observation of the roots, trunk, branches, blossoms, leaves, and fruit of his universally developed nature. For his nature or truth is the ink in which the book of the universe has been written, and his Light is the seed of creation. This miraculous travel continued as far as the point beyond time and space where he heard the sounds given by the Pen of Destiny, passing through the shadow of the Divine Supreme Throne. At its final point the blessed traveler, upon him be peace and blessings, was crowned with God’s eternal good pleasure with and approval of him.

O God! Show us the truth as being true and enable us to follow it; and show us falsehood as being false and enable us to refrain from it.

Posted by Dr. Sulaiman al-Kumayi, M.Ag, quoted from: http://en.fgulen.com/

MENGENAL PEMIKIRAN FETHULLAH GULEN

“Perbanyak Sekolah, Bukan Masjid” : Konsepsi Pendidikan Fethullah Gulen

    Fethullah Gulen adalah seorang pemikir Turki kenamaan yang tinggal di Amerika Serikat. Ia sangat masyhur dengan gerakan filantropi internasional yang sering disebut Hizmet. Ia adalah seorang pemikir ulung tentang harmonisasi sains dan ilmu-ilmu keislaman, selain juga konseptor pendidikan. Seperti Freire yang punya pandangan khas tentang edukasi, Gulen pun memiliki pandangan yang istimewa. Bagi Gulen, Al-Qur’an saat pertama kali diturunkan telah mewahyukan kewajiban simbolis untuk belajar bukan hanya kepada Muhammad sebagai penerima wahyu, namun bagi seluruh umat manusia. Karenanya, pendidikan (yang notabenenya kata benda, namun bermakna kata kerja, baik dalam artinya yang aktif, mendidik dan maknanya yang pasif, dididik) adalah kewajiban bagi semua orang. Gulen sendiri mencontohkannya dengan menjadi pendidik, baik secara lisan maupun perbuatan.

      Gulen adalah seorang pendidik sejati. Baginya, makna wahyu pertama tertekan pada kewajiban belajar, bukan beribadah. Karena hanya dengan belajar yang benar kita bisa beribadah yang sah. Tak salah bila pada suatu kali, Gulen berujar: “Perbanyak Sekolah, Bukan Masjid (Instead of Mosques).

    Dalam bahasa yang lain, Gulen menyatakan bahwa kewajiban manusia adalah memahami (seek understanding), dengan jalan dan cara apapun. Pendidikan adalah sarana menuju pemahaman yang dimaksudkan. Gulen mendefinisikan pendidikan sebagai proses penyempurnaan dalam hidup yang dengannya kita bisa meraih dimensi spiritual, intelektual dan fisikal kemanusiaan. Baginya, pendidikan adalah tugas Ilahiyah yang hanya dengan itulah kita bisa merasakan esensi kemanusiaan. Pendidikan dalam perspektif Gulen adalah “Special Service” yang menjadi tugas kolektif berbasis komunitas. Hal ini disebabkan pandangannya bahwa tujuan hidup terletak pada kebaikan (baca: berbuat baik) yang dilakukan secara bersama-sama. Pandangan Gulen tentang pendidikan dengan demikian tersimpul dan terkait erat dengan sisi keimanannya (fully-integrated with his belief).

      Suatu kali, Gulen pernah berujar “we are only truly human if we learn, teach and inspire others”. Kita menjadi manusia hanya karena kita belajar, mendidik dan menginspirasi orang lain. Esensi kemanusian kita dengan demikian bukanlah akal, otak ataupun pikiran, tetapi penggunaan akal agar berguna dan bermanfaat buat orang lain. Pendidikan berbandinglurus dan sederajat dengan kemanusiaan kita. Gulen sering membandingkan manusia dengan hewan dalam soal pendidikan. Hewan hanya dalam hitungan hari bisa mendapatkan kemampuan untuk digunakan seumur hidupnya. Sementara manusia memerlukan puluhan tahun untuk menjadi manusia yang sesungguhnya dan mengenal Tuhannya. Bahkan ada manusia yang hingga akhir hayatnya belum mendapatkan bekal kehidupannya.

       Soal integrasi pandangannya tentang pendidikan dengan keimanan, ini bisa dibuktikan, misalnya dengan kukuhnya pendirian Gulen tentang mustahilnya ketidaksesuain ilmu pengetahuan modern (Science) dengan ajaran agama (Religious Knowledge). Baginya, Agama dan Ilmu Pengetahuan bukanlah dua hal yang berbeda (dan harus dibedakan) tetapi dua hal yang esensial dan melengkapi satu sama lain (komplementer). Belajar Science dan agama harus sama-sama dipandang sebagai kegiatan ibadah. Lebih jauh, beliau berandai, jika saja tidak ada serangan bangsa Mongol dan tidak terjadi perang salib (Crusade), maka dunia Islam pasti tercerahkan (enlightened) dan tidak mengalami kemunduran. Dan tentunya, jika pengandaian ini benar, kontradiksi Science dan Religious Knowledge bisa terhindar dari polarisasi. Dengan demikian, Sains hanyalah sesuatu yang berusaha mengamati dan mempelajari ayat-ayat kauniyyah Tuhan yang Maha Esa. Karenanya, Agama akan memandu agar sains tetap dijalan yang semestinya.

      Menurutnya, ada 3 musuh di dunia ini yang harus dibasmi dan dihilangkan. Ketiga hal tersebut adalah kebodohan, kemiskinan dan “internal schism”. Kemiskinan bisa direduksi bahkan dihilangkan dengan penyediaan lapangan kerja dan peningkatan taraf ekonomi masyarakat. Zakat dan Shodaqoh meruapakan cara-cara untuk mengatasinya. Internal schism semisal ancaman separatisme bisa dihilangkan dengan komunikasi pihak-pihak yang terlibat dan mendiskusikan masalah yang melatarbelakangi dan berusaha mencari solusinya. Ancaman yang sering merongrong sebuah negara ini bisa diatasi misal dengan pemberian status khusus ataupun otonomi. Kebodohan (ignorance) hanya bisa diatasi lewat jalur pendidikan. Baginya, kita dikirim kedunia untuk belajar dan menyempurnakan diri lewat pendidikan. Pendidikan adalah “human service”.

    Pendidikan tidak hanya dijalankan lewat sebuah institusi khusus, madrasah dan sekolah misalnya, tetapi juga harus dilaksanakan bahkan hingga di rumah dan tempat tinggal. Tak heran bila Gulen berpendapat bahwa rumah manusia harus berfungsi sebagai tempat ibadah dan unit pendidikan. Menurut Gulen, sekolah hanyalah mirip seperti laboratorium kehidupan. Pendidikan dalam opini beliau adalah hal tersulit dalam hidup dan juga yang paling sakral. Karenanya Nabi pernah bersabda bahwasanya pendidikan itu dari buaian sampai liang lahat.

     Gulen sangat mengagumi dan terinspirasi oleh Sa’id Nursi, sang Bediuzzaman. Dalam pandangan Sa’id Nursi, ilmu pengetahuan apapun hanya mencerahkan, mengiluminasi pikiran kita. Kita butuh satu elemen lain, yakni keimanan dan kebajikan (faith and virtue) untuk mencapai kejernihan kalbu. Inilah yang mengukuhkan Gulen akan perspektif pendidikannya.

Sumber: http://shohibessir.blogspot.com/2012/01/perbanyak-sekolah-bukan-masjid-konsepsi.html

shak Alaton: Gulen the ultimate ‘other’

Ishak Alaton: Gulen the ultimate ‘other’

You have allocated a whole section in your book to the Hizmet movement, with a lot of positive remarks about Fethullah Gulen and the movement. What kind of reactions have you received?
Almost 90 percent of the reactions were congratulations. You hear the least expected things from the least expected person.

Do you mean his identity as a prominent religious figure?
You could say so. Look, I am an “other” and I have expressed this for my entire life. Last week, The Economist magazine wrote about me as the “other,” quoting me when I said to Professor Jenny White from the US three years ago that “this society never made me feel that I belong to it.” This is harsh, but a reality. President Abdullah Gül invited me to Çankaya Palace in Ankara to promote my first book and I addressed 600 people there. After my conference, I saw Hayrünnisa Gül, his wife, and told her that so many people listen to me and give me accolades here and eventually I am an “other.” She responded to me by saying “you are wrong Mr İshak, since I am the real ‘other’ here. I haven’t appeared in public for the two years since I moved in here due to the headscarf I am wearing.” Those who are not the “others” must think twice to find out why this society has disintegrated so much. I believe things will get better after the generation of those who claim on TV screens that Turks will resist granting Kurds equal rights disappear.

You mention in your book that the new “human type,” which is also envisaged by the Hizmet movement, will be a remedy for the process of creating “others” in the society?
It will be so. What excites me the most in this Hizmet movement is the schools abroad. I saw the schools in the South Africa. We got the land for the school in Moscow from the municipality as a free allocation and granted it to the movement. Today, hundreds of thousands of pupils are receiving education in these Turkish schools, which are generally ranked among the best schools in their countries all around the world.
The most noteworthy thing about these schools, I think, is that they mirror the positive face of our country to the world. A group of people providing education of the highest quality all around the world rises as something positive in the eyes of someone who looks at Turkey against a myriad of negative things.
As I also stressed in my book, the Jews that had to migrate to the US several centuries ago to escape the tortures in Russia or parts of Europe invested heavily in educating their children. They were poor people, from simple occupations like shoemaking, but they somehow schooled their children by reducing spending on even the most basic needs. And then these educated children sent their own children to better schools. After several generations, the most elite, productive and prominent people in the US were the Jews.

You also give some figures in your book like there are only 14 million Jews in the world but they have a power to shape the rest of the world.

Yes, the Jewish population corresponds to only 0.2 percent of the world population. What keeps Israel standing is the Jewish lobby in the US. A more striking fact is that 32 percent of the Nobel winners are Jewish. So, looking closely, the weight that this movement puts on education is a well-received message. The Hizmet analysed the Jewish case and said we can also attain a similar success by relying on education.

How does the Jewish community perceive the movement?

A few years ago, there was a silly article in the Wall Street Journal about the Hizmet. I called Alon Ben Meier, who is one of the most prominent people in the US’s Jewish media. He introduced the Wall Street Journal’s reporter, who had penned the negative article on Hizmet, to these people, saying your article is wrong. And afterwards, the same person wrote another article the next week expressing his wrongdoing and misunderstanding. So the Jewish lobby helped them overcome this problem because I believe our goals are the same. Our goal is education. Look, the worst danger awaiting the world is ignorance. Let me give you a recent example: Taliban killed a group of UN workers in Pakistan who were there to provide vaccinations against polio. This is pure ignorance.

You say that Gülen is deliberately misrepresented in Turkey and he is in a self-imposed exile in the US. So, in fact, he is also an “other.”
Certainly. And maybe he is the most “other.”

Original source: http://gulen4universalpeace.blogspot.com/2012/12/fethullah-gulen-the-ultimate-other.html

A Comparative Approach to Islam and Democracy

A Comparative Approach to Islam and Democracy

Fethullah Gülen

Religion, particularly Islam, has become one of the most difficult subject areas to tackle in recent years. Contemporary culture, whether approached from the perspective of anthropology or theology, psychology or psychoanalysis, evaluates religion with empirical methods. On the one hand, religion is an inwardly experienced and felt phenomenon, one mostly related to life’s permanent aspects. On the other believers can see their religion as a philosophy, a set of rational principles, or mere mysticism. The difficulty increases in the case of Islam, for some Muslims and policy-makers consider and present it as a purely political, sociological, and economic ideology, rather than as a religion.

If we want to analyze religion, democracy, or any other system or philosophy accurately, we should focus on humanity and human life. From this perspective, religion in general and Islam in particular cannot be compared on the same basis with democracy or any other political, social, or economic system. Religion focuses primarily on the immutable aspects of life and existence, whereas political, social, and economic systems or ideologies concern only certain variable, social aspects of our worldly life.

The aspects of life with which religion is primarily concerned are as valid today as they were at the dawn of humanity and will continue to be so in the future. Worldly systems change according to circumstances and so can be evaluated only according to their times. Belief in God, the hereafter, the prophets, the holy books, angels, and divine destiny have nothing to do with changing times. Likewise, worship and morality’s universal and unchanging standards have little to do with time and worldly life.

Therefore, when comparing religion or Islam with democracy, we must remember that democracy is a system that is being continually developed and revised. It also varies according to the places and circumstances where it is practiced. On the other hand, religion has established immutable principles related to faith, worship and morality. Thus, only Islam’s worldly aspects should be compared with democracy.

The main aim of Islam and its unchangeable dimensions affect its rules governing the changeable aspects of our lives. Islam does not propose a certain unchangeable form of government or attempt to shape it. Instead, Islam establishes fundamental principles that orient a government’s general character, leaving it to the people to choose the type and form of government according to time and circumstances. If we approach the matter in this light and compare Islam with today’s modern liberal democracy, we will better understand the position of Islam and democracy with respect to each other.

Democratic ideas stem from ancient times. Modern liberal democracy was born in the American (1776) and French Revolutions (1789-99). In democratic societies, people govern themselves as opposed to being ruled by someone above. The individual has priority over the community in this type of political system, being free to determine how to live his or her own life. Individualism is not absolute, though. People achieve a better existence by living within a society and this requires that they adjust and limit their freedom according to the criteria of social life.

The Prophet says that all people are as equal as the teeth of a comb. (1) Islam does not discriminate based on race, color, age, nationality, or physical traits. The Prophet declared:

“You are all from Adam, and Adam is from earth. O servants of God, be brothers [and sisters].”(2)

Those who are born earlier, have more wealth and power than others, or belong to certain families or ethnic groups have no inherent right to rule others.

Islam also upholds the following fundamental principles:

1. Power lies in truth, a repudiation of the common idea that truth relies upon power.

2. Justice and the rule of law are essential.

3. Freedom of belief and rights to life, personal property, reproduction, and health (both mental and physical) cannot be violated.

4. The privacy and immunity of individual life must be maintained.

5. No one can be convicted of a crime without evidence, or accused and punished for someone else’s crime.

6. An advisory system of administration is essential.

All rights are equally important, and an individual’s right cannot be sacrificed for society’s sake. Islam considers a society to be composed of conscious individuals equipped with free will and having responsibility toward both themselves and others. Islam goes a step further by adding a cosmic dimension. It sees humanity as the “motor” of history, contrary to fatalistic approaches of some of the nineteenth century Western philosophies of history such as dialectical materialism and historicism. (3) Just as every individual’s will and behavior determine the outcome of his or her life in this world and in the hereafter, a society’s progress or decline is determined by the will, worldview, and lifestyle of its inhabitants. The Quran (13:11) says:

“God will not change the state of a people unless they change themselves [with respect to their beliefs, worldview, and lifestyle].”

In other words, each society holds the reins of its fate in its own hands. The prophetic tradition emphasizes this idea:

“You will be ruled according to how you are.” (4)

This is the basic character and spirit of democracy, which does not conflict with any Islamic principle.

As Islam holds individuals and societies responsible for their own fate, people must be responsible for governing themselves. The Quran addresses society with such phrases as: “O people!” and “O believers!” The duties entrusted to modern democratic systems are those that Islam refers to society and classifies, in order of importance, as “absolutely necessary, relatively necessary, and commendable to carry out.” The sacred text includes the following passages:

“Establish, all of you, peace” (2:208);

“spend in the way of God and to the needy of the pure and good of what you have earned and of what We bring forth for you from earth” (2:267);

“if some among your women are accused of indecency, you must have four witnesses [to prove it]” (4:15);

“God commands you to give over the public trusts to the charge of those having the required qualities and to judge with justice when you judge between people” (4:58);

“observe justice as witnesses respectful for God even if it is against yourselves, your parents and relatives” (4:135);

“if they [your enemies] incline to peace [when you are at war], you also incline to it” (8:61);

“if a corrupt, sinful one brings you news [about others], investigate it so that you should not strike a people without knowing” (49:6);

“if two parties among the believers fight between themselves, reconcile them” (49:9).

To sum up, the Quran addresses the whole community and assigns it almost all the duties entrusted to modern democratic systems.

People cooperate with one another by sharing these duties and establishing the essential foundations necessary to perform them. The government is composed of all of these foundations. Thus, Islam recommends a government based on a social contract. People elect the administrators and establish a council to debate common issues. Also, the society as a whole participates in auditing the administration.

Especially during the rule of the first four caliphs (632-661), the fundamental principles of government mentioned above–including free election–were fully observed. The political system was transformed into a sultanate after the death of Ali, the fourth caliph, due to internal conflicts and to the global conditions at that time. Unlike under the caliphate, power in the sultanate was passed on through the sultan’s family. However, even though free elections were no longer held, societies maintained other principles that are at the core of today’s liberal democracy.

Islam is an inclusive religion. It is based on the belief in one God as the Creator, Lord, Sustainer, and Administrator of the universe. Islam is the religion of the whole universe. That is, the entire universe obeys the laws laid down by God, so everything in the universe is “Muslim” and obeys God by submitting to his laws. Even a person who refuses to believe in God or follows another religion has perforce to be a Muslim as far as his or her bodily existence is concerned. His or her entire life, from the embryonic stage to the body’s dissolution into dust after death, every tissue of his or her muscles, and every limb of his or her body follows the course prescribed for each by God’s law. Thus, in Islam, God, nature, and humanity are neither remote from each other nor are they alien to each other. It is God who makes himself known to humanity through nature and humanity itself, and nature and humanity are two books (of creation) through each word of which God is known. This leads humankind to look upon everything as belonging to the same Lord, to whom it itself belongs, so that it regards nothing in the universe as alien. His sympathy, love, and service do not remain confined to the people of any particular race, color, or ethnicity. The Prophet summed this up with the command,

“O servants of God, be brothers [and sisters]!”

A separate but equally important point is that Islam recognizes all religions previous to it. It accepts all the prophets and books sent to different peoples in different epochs of history. Not only does it accept them, but also regards belief in them as an essential principle of being Muslim. By doing so, it acknowledges the basic unity of all religions. A Muslim is at the same time a true follower of Abraham, Moses, David, Jesus, and of all other Hebrew prophets. This belief explains why both Christians and Jews enjoyed their religious rights under the rule of Islamic governments throughout history.

The Islamic social system seeks to form a virtuous society and thereby gain God’s approval. It recognizes right, not force, as the foundation of social life. Hostility is unacceptable. Relationships must be based on belief, love, mutual respect, assistance, and understanding instead of conflict and realization of personal interest. Social education encourages people to pursue lofty ideals and to strive for perfection, not just to run after their own desires. Right calls for unity, virtues bring mutual support and solidarity, and belief secures brotherhood and sisterhood. Encouraging the soul to attain perfection brings happiness in both worlds.

Democracy has developed over time. Just as it has gone through many different stages in the past, it will continue to evolve and to improve in the future. Along the way, it will be shaped into a more humane and just system, one based on righteousness and reality. If human beings are considered as a whole, without disregarding the spiritual dimension of their existence and their spiritual needs, and without forgetting that human life is not limited to this mortal life and that all people have a great craving for eternity, democracy could reach its peak of perfection and bring even more happiness to humanity. Islamic principles of equality, tolerance, and justice can help it do just that.

Notes:

(1) Abu Shuja’ Shirawayh ibn Shahrdar al-Daylami, Al-Firdaws bi-Ma’thur al-Khitab (The Heavenly Garden Made Up of the Selections From the Prophet’s Addresses) (Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiya, 1986), 4:300.

(2) For the second part of the hadith see the sections “Nikah” (Marriage Contract) in Abu ’Abdullah Muhammad ibn Ismail al-Bukhari, ed., al-Jami’ al-Sahih (A Collection of the Prophet’s Authentic Traditions) (Istanbul: al-Maktabat al-Islamiya, n.d.), ch. 45; “Birr wa-Sila” (Goodness and Visiting the Relatives) in Imam Abu Husayn Muslim ibn Hajjaj, ed., al-Jami’ al-Sahih, op. cit., ch. 23; and for the first part see “Tafsir” (The Quranic Commentary) and “Manaqib” (The Virtues of the Prophet and His Companions) in Abu ‘Isa Muhammad ibn ‘Isa al-Tirmidhi, Al-Jami’ al-Sahih (Beirut: Dar al-Ihya al-Turath al-’Arabi, n.d.), chs. 49 and 74, respectively. The original text in Arabic does not include the word “sisters” in the command. However, the masculine form used refers to both men and women, as is the rule in many languages. An equivalent in English would be “mankind,” which refers to both men and women. By saying “O servants of God,” the Prophet also means women, because both men and women are equally servants of God.

(3) See Karl R. Popper, The Poverty of Historicism, trans. Sabri Orman (Istanbul: Insan yayinlari, 1985).

(4) ‘Ala al-Din ’Ali al-Muttaqi al-Hindi, Kanz al-‘Ummal fi Sunan al-Aqwal wa al-Af‘al (A Treasure of the Laborers for the Sake of Prophet’s Sayings and Deeds) (Beirut: Muassasat al-Risala, 1985), 6:89.

This article was translated from Turkish by Elvan Ceylan.

Source: Toward a Global Civilization of Love and Tolerance. Tughra Books, NJ. 2012. Pages 219-224

* This article originally appeared in SAIS Review vol. XXI, no. 2 (Summer-Fall 2001), pages: 133-38.

http://www.gulenmovement.us/a-comparative-approach-to-islam-and-democracy.html (akses 22 Januari 2013).

[]

 

BERSAMA MUSIBAH ADA NIKMAT

BERSAMA MUSIBAH ADA NIKMAT

Sulaiman Al-Kumayi

Setiap orang yang menerima musibah biasanya akan mudah mengeluh, dan menganggapnya sebagai kutukan atau azab. Sebenarnya, dibalik musibah itu ada kenikmatan yang menyertainya. Tergantung kepada manusia, apakah ia menyadari ini atau tidak. Juga, dibalik kenikmatan ada musibah. Oleh karena itu, saat menerima banyak nikmat jangan lupa bersyukur kepada Allah dan perbanyak sedekah. Dengan cara ini, nikmat yang diperoleh tidak berubah menjadi bencana.

AL-MUHYÎ (YANG MAHA MENGHIDUPKAN)

AL-MUHYÎ

Yang Maha Menghidupkan

By: Sulaiman al-Kumayi

Mulla Nasruddin memiliki kuda jenis unggul. Seorang menteri yang sedang melewati desanya, tertarik pada kuda jantan yang sehat dan berasal dari ras tinggi. Ia mendatangi Mulla, “Mulla, juallah kuda itu kepadaku. Aku berikan cek kosong. Tinggal kamu isi saja, seratus, dua ratus—berapa juta saja.” Mulla memohon maaf, “Tidak, Pak Menteri. Kuda ini tidak untuk dijual.” Sang Menteri jadi kesal, tetapi apa boleh buat. Ia tidak dapat memaksa Mulla, karena baru-baru saja media sudah menyorot dia dalam kasus korupsi. Bahkan gambar villa mewah yang ia miliki disiarkan oleh beberapa media. “Wah kalau dipaksa, bisa jadi bumerang,” demikian sang menteri menelan rasa kesalnya. Para penduduk desa yang kumpul di situ mengatakan, “Ah, Mulla, kau bodoh.” Mulla mengatakan, “Eh, kalian urusi diri kalian sendiri. Kuda ini milikku. Mau dijual, atau tidak, itu sesukaku. Suka-sukaku.” Esoknya, kuda itu menghilang dari pekarangan rumah Mulla. Para penduduk desa semakin keras kali ini, “Lihat Mulla, betapa bodohnya kau. Kalau sudah dijual kemarin, sekarang setidaknya kau sudah mengantongi berapa ratus juta. Kau tidak rugi.” Mulla menjawab dengan tenang, “Sudah saya katakan, urusilah urusan kalian masing-masing. Jangan urusi diriku. Aku rugi, aku kehilangan, itu bukan urusan kalian. Suka-sukaku.” Beberapa hari kemudian, kuda itu kembali, bahkan membawa kembali beberapa ekor kuda liar, sejenis dia. Rupanya kuda itu bisa memahami bahasa manusia. Ia menguping pembicaraan Mulla dan Sang Menteri. Ia sangat berterima kasih pada pemiliknya. Dan sebagai ucapan terima kasih, ia pergi ke hutan, untuk membawa seluruh keluarganya. Para penduduk desa Mulla lagi, “Mula kau beruntung sekali. Tadinya hanya memiliki satu kuda, sekarang beberapa kuda.” Mulla tetap juga tenang, “Kalian harus berpikir matang dulu. Saya ini rugi atau untung, itu bukan urusan kalian. Kemarin katanya saya rugi, hari ini saya untung, gimana sih? Udah deh, untung, rugi, suka-sukaku.” Karena kuda-kuda yang baru dibawa dari hutan itu masih liar, mereka harus dijinakkan oleh putra tunggal Mulla. Ia ditendang oleh salah satu kuda dan tulang kakinya patah. Penduduk desa mendatangi Mulla lagi, “Mulla, kau memang sial. Lihat apa yang terjadi? Anak tunggalmu patah kaki.” Mulla tetap tenang, “Saya tidak mengerti maksud kalian. Dulu kalian bilang aku rugi, lalu kalian katakan untung, sekarang sial. Urusilah diri kalian sendiri. Tinggalkan aku. Bukankah telah kukatakan, suka-sukaku?” Belum genap seminggu, negara diserang oleh negara tetangga. Dan negara tetangga cukup kuat. Sehingga setiap anak diwajibkan mengikuti latihan militer, guna membela negara. Kepala desa di mana Mulla tinggal mengharuskan para remaja di atas 16 tahun masuk dinas militer, kecuali, anak Nasruddin, karena tulang kakinya patah. Para penduduk desa mendatangi Mulla lagi, “Mulla kau benar-benar beruntung. Anakmu tidak diwajibkan masuk militer.” Mulla tidak pernah hilang rasa tenangnya, “Sudahlah, kalian sudah cukup membingungkan saya. Kadang aku kalian sebut bodoh, rugi, kadang kalian puji aku sebagai orang pintar, beruntung. Kadang sial, sekarang beruntung lagi. Kalian sendiri belum pasti, aku ini sebenarnya gimana. Sudahlah tinggalkan aku. Suka-sukaku.”

Dalam al-Quran Allah mengajari kita bagaimana mensikapi musibah yang menimpa. “[Yaitu] orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, innâ li Allâhi wa innâ ilahi râji`ûn [sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kami akan kembali kepada-Nya]. Mereka itulah yang mendapat banyak keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS. al-Baqarah [2]: 156-157).

Menurut Said bin Jubair, ucapan innâ li Allâhi wa innâ ilahi râji`ûn, hanya diajarkan Allah kepada Nabi Muhammad saw. dan umatnya. Seandainya Nabi Ya`kub mengetahuinya maka dia tidak akan berucap seperti ucapannya yang diabadikan al-Quran: “Aduhai, duka citaku terhadap Yusuf” (QS. Yûsuf [12]: 84). Mereka yang mengucapkan innâ li Allâhi wa innâ ilahi râji`ûn dengan menghayati makna-maknanya akan memperoleh banyak keberkatan. Menurut Quraish Shihab, yang dimaksud keberkatan itu, antara lain berupa limpahan pengampunan, pujian, menggantikan yang lebih baik daripada nikmat sebelumnya yang telah hilang, dan lain-lain. Semua keberkatan itu bersumber dari Tuhan Yang Memelihara dan Mendidik. Dengan demikian keberkatan itu dilimpahkan sesuai dengan pendidikan dan pemeliharaan-Nya. Sebagai hamba-Nya, kita harus yakin bahwa kegagalan yang dialami saat ini bukan berarti Dia tidak memperhatikan kebutuhan kita. Tetapi sebaliknya, kegagalan atau penderitaan yang dialami saat ini merupakan sarana bagi kita untuk meraih sesuatu yang lebih baik. Percayalah di balik segala kejadian, ada rahmat-Nya. Karena keterbatasan penglihatan kita sendiri, kita tidak melihat-Nya. Percayalah pada Dia yang memberikan kehidupan. Jika Anda menghadapi segala macam persoalan kembalilah kepada Allah, bukan kepada diri Anda sendiri. Minta bimbingan-Nya untuk mencari solusi atas persoalan yang Anda hadapi. Berkenaan dengan ini Nabi saw. mengajarkan sebuah doa:

اَللّهُـمَّ رَحْمَتَكَ اَرْجُوْ فَلاَ تَكِلْنِيْ إِلىَ نَفْسِيْ طَرْفَةَ عَيْنٍ وَأَصْلِحْ لِيْ شَـأْنِيْ كُلَّهُ لاَاِلهَ اِلاَّ اَنْتَ

Ya Allah hanya rahmat-Mulah yang kuharapkan, karena itu jangan Engkau serahkan aku kepada diriku sendiri walau sekejap pun, dan perbaikilah semua urusanku. Tiada Tuhan selain Engkau (HR. Bukhârî).

Allah Pasti Akan Menganugerahi Yang Terbaik Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami anugerahkan kepadanya kehidupan yang baik. –QS. al-Nahl [16]: 97)– Mereka yang mengenal dan memahami dengan baik asma Allah al-Muhyî niscaya akan menjadi manusia yang bermakna dalam hidupnya. Ia tidak akan pernah menyia-nyiakan kesempatan hidup ini, sekalipun dalam penderitaan. Karena ia yakin kebaikan sekecil apa pun yang dilakukan pasti akan menjadi pertimbangan Tuhan untuk menganugerahkan kualitas hidup yang lebih baik. Untuk itu, semangat bekerja keras dan cita-cita yang tinggi haruslah dibangkitkan dalam diri Anda. Al-Quran sendiri sangat menganjurkan akan hal ini. Dan katakanlah, “Bekerjalah kalian, maka Allah dan rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaan kalian” (QS. al-Taubah [9]: 105). Dalam hadis, Nabi saw. bersabda:

اِنَّ اللهَ يُـحِبُ اِذَا عَمِلَ اَحَدَكُمُ اْلعَمَلَ اَنْ يُـتْقِنَهُ [رواه الطبراني]

Sesungguhnya Allah menyukai apabila seseorang di antara kamu melakukan suatu pekerjaan lalu dia menyelesaikannya dengan baik (HR. al-Thabrânî).

Bermotivasi al-Muhyî: Bekerja Keras Dan Berani Gagal

Kehebatan dan kepintaran bukanlah sekadar kecerdasan dan kekuasaan, bukan pula keturunan pelanjut generasi atau kesaktian menggulung dunia, melainkan memberi makna setiap jengkal bumi walaupun hanya sebesar pasir dalam tebaran pantai dan gurun sahara. –Abdul Munir Mulkhan dalam Revolusi Kesadaran—

Tugas kita sekarang adalah menebarkan semangat al-Muhyî dalam kehidupan sehari-hari. Secara pribadi kita bertekad untuk memberi makna bagi kehidupan walaupun hanya sebesar buih di samudera luas. Hidup ini terlalu berharga untuk disia-siakan. Mereka yang tidak berbuat sesuatu yang bermakna dalam hidupnya berarti mengkhianati amanat Tuhan. Ketika manusia menghadap Allah dalam keadaan teraniaya. Tuhan akan bertanya mengapa ia mengalami kemalangan seperti itu? Si hamba tadi akan berdalih begini dan begitu. Tetapi Allah tidak menerimanya, dengan alasan bahwa bumi-Nya luas. Manusia bisa mencari penghidupan di muka bumi ini. Jika bagian bumi yang satu tidak bisa memberikan keberuntungan, maka masih ada kesempatan di bagian bumi yang lain. “Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezeki-Nya” (QS. al-Mulk [67]: 16); Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri; [kepada mereka] malaikat bertanya: “Dalam keadaan bagaimana kamu ini?” Mereka menjawab: “Kami orang-orang yang tertindas di bumi.” Para malaikat berkata: “Bukankah bumi Allah luas, sehingga kamu dapat bermigrasi di bumi itu?” Orang-orang itu tempatnya neraka Jahanam, dan jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali (QS. al-Nisa [4]: 97).

Mengingat pentingnya kerja, Umar bin Khaththâb pernah menganjurkan kepada fakir miskin agar bekerja.

يَـامَعْـشَرَ اْلفُقَـرَاء اِرْفَـعُوْا رُؤُسَـكُمْ وَاتَّـجِرُوْا فَـقَدْ وَضَحَ الـطَّـرِيْقُ وَلاَ تَـكُوْنُـوْا عِـيَالاً عَلى الـنَّاسِ

Hai orang-orang fakir/miskin angkatlah kepalamu, dan bekerjalah kalian, sebab telah jalannya; dan janganlah menjadi beban bagi orang lain.

Anas bin Malik berkata, seorang datang kepada Nabi saw. dan minta suatu kebutuhan. Kemudian Nabi bertanya, “Apakah di rumah tidak apa-apa?” Jawabnya: “Ada tikar yang sudah robek, kami duduk, tidur di atasnya dan menjadikan separohnya untuk selimut, dan bejana untuk makan, minum dan mencuci kepala.” Rasulullah bersabda, “Bawalah ke sini keduanya.” Orang itu pun segera membawa keduanya kepada Nabi. Setelah Nabi menerima barang tersebut, beliau segera menawarkannya kepada para sahabat yang hadir, “Siapakah yang akan membeli kedua barang ini?” Salah seorang sahabat berkata, “Saya akan membelinya satu dirham.” Nabi menawarkan lagi: “Siapakah yang suka melebihi satu dirham?” Ada yang menjawab: “Saya ambil keduanya dengan dua dirham.” Kemudian Nabi menyerahkan barang itu kepadanya, dan sesudah diterima uangnya oleh Nabi langsung diserahkan kepada si pemiliknya dan beliau bersabda, “Satu dirham kamu belikan makanan untuk keluargamu, sedang yang satu dirham kamu belikan kapak dan bawa kemari.” Orang itu pun pergi dan membeli sesuai yang diperintahkan Nabi. Setelah itu ia menghadap Nabi dan menyerahkan membawa kapak itu kepada beliau. Lalu Nabi memasang gagang kayu [pegangan] kapak, dan beliau menyuruh orang itu agar mencari kayu dan dijual, dan jangan datang lagi selama lima belas hari. Orang itu pun pergi dan dapat mengumpulkan uang sepuluh dirham untuk membeli makanan dan pakaian keluarganya, lalu ia melaporkan kepada Nabi saw. tentang perkembangan dirinya. Mendengar itu Nabi pun bersabda:

اَلَيْسَ هَذَا خَـيْرٌ لَكَ مِنْ اَنْ تَجِىْءَ يَـوْمَ اْلقِـيَامَةِ وَمَسْئَلَتُكَ فِى وَجْـهِكَ نُكْـتَةٌ سَـوْدَاءُ لاَيَمْحُـوْهَااِلاَّ الـنَّارُ

Tidakkah ini lebih baik bagimu daripada kamu datang pada hari kiamat sedang meminta-minta dengan titik hitam di mukamu, yang tidak dapat dihapus kecuali dengan api neraka.

Motivasi kedua yang bisa dimunculkan dari al-Muhyî adalah berani gagal. Selama ini kita tanpa sadar sering disodori dengan konsep-konsep bagaimana menjadi sukses, tetapi jarang sekali kita diajari bagaimana menjadi gagal. Padahal bagi mereka yang mengenal dan menghayati sungguh-sungguh makna al-Muhyî akan sadar bahwa kekuatan-kekuatan gaib Tuhan sedang bergerak membimbingnya menuju suatu keberhasilan. Karena Tuhan akan menghidupkan hamba-hamba-Nya yang punya cita-cita, dan akan mengangkat mereka yang pernah mengalami kegagalan. Yang penting ia percaya pada-Nya. Bukankah Allah sudah tegaskan, “Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan menghidupkan bumi sesudah matinya” (QS. al-Rûm [30]: 19); “kamu melihat bumi itu kering tandus, maka apabila Kami turunkan air di atasnya, niscaya ia tumbuh dan subur” (QS. Fushshilat [41]: 39). Kemudian Dia juga menjanjikan, “Allah menciptakan langit dan bumi dengan tujuan yang benar dan agar dibalasi tiap-tiap diri terhadap apa yang dikerjakannya dan mereka tidak dirugikan” (QS. al-Jâtsiyah [45]: 22).

Dengan demikian, apa yang dicita-citakan atau dikerjakan oleh seseorang pasti akan diberi penghargaan oleh Allah. Dia tidak akan pernah berdiam diri. Mungkin Anda akan bertanya, saya sudah percaya penuh pada Tuhan, bahkan seluruh kewajiban yang diperintahkan-Nya, saya jalankan. Tetapi, apa hasilnya. Semuanya sia-sia belaka. Dalam bagian ini saya ingin mengajak Anda bagaimana orang-orang yang pernah sukses sebenarnya berangkat dari kegagalan. Tetapi mereka tidak pernah apatis dengan masa depan. Mereka—meminjam kata-kata Billi P.S. Lim, penulis buku terlaris Berani Gagal—mampu memahami ‘hikmah kegagalan.’ Lebih jauh Lim menulis: Orang yang berhenti mencoba selepas kegagalan pertama sebenarnya tidak berlaku adil terhadap diri mereka sendiri. Mereka seolah-olah menganggap bahwa kehidupan ini hanya terdiri dari satu peristiwa, jika tidak tercapai, habis! Abraham Lincoln setelah kalah dalam persaingan menjadi Senator Amerika Serikat berkata: “Jalannya becek dan licin. Saya tergelincir dan jatuh. Namun saya bangun lagi dan berkata kepada diri sendiri, ‘Saya hanya tergelincir bukannya jatuh.’’’

Untuk alasan inilah, Lincoln dengan tegas menyatakan: Yang saya risaukan bukanlah tentang kegagalan, tetapi berpuas hatilah dengan kegagalan itu. Si penemu hukum relativitas Albert Einstein mengatakan, “Saya berpikir dan berpikir selama berbulan-bulan dan bertahun-tahun. Ternyata 99 kali kesimpulannya salah. Tetapi pada kesempatan yang ke-100, saya betul.”

Untuk berbagi pengalaman, Billi P.S. Lim mengisahkan liku-liku yang dialami KFC (Kentucky Fried Chicken), yang di Indonesia sempat mau diboikot, gara-gara invasi Amerika Serikat ke Irak. Kolonel Harland D. Sanders lahir pada tahun 1890 di sebuah ladang yang berdekatan dengan Henryville, Indiana. Ayahnya meninggal ketika dia berusia enam tahun. Itu menyebabkan ibunya harus bekerja keras sebagai seorang tukang jahit baju, sedangkan ia juga terpaksa menjaga adik-adiknya yang masih kecil. Pada saat itulah ibunya mengajarkan seni masakan daerah. Tidak berapa lama setelah ibunya kawin lagi, Harland D. Sanders yang pada saat itu berusia 12 tahun telah berhenti sekolah. Dia keluar rumah untuk mulai bekerja. Di antara pekerjaan awalnya termasuk bertani, penyelia pekerjaan landasan kereta api, kondektur, penjual asuransi, masinis, kapal uap, dan masih banyak lagi. Akhirnya, Sanders membuka sebuah terminal layanan yang sukses di mana dia menyediakan masakan istimewa kepada para pelanggan ayam goreng, semeja enam orang. Nampaknya nasib malang merupakan teman setia Sanders. Pada tahun 1939, bisnisnya sedang terpuruk dan nyaris bangkrut. Tanpa rasa putus asa, Sanders mendirikan sebuah restoran dan motel dengan gaya baru. Siapa pun yang ingin menggunakan telepon umum atau hendak ke toilet wanita harus melalui replika kamar motelnya yang terdapat di situ. Iklan ini sukses untuk mengembangkan bisnis motelnya. Ketika pendapatan yang diperoleh agak bagus, satu masalah lain muncul. Ada jalan raya baru yang membuat semua pelanggan lebih suka lewat jalan baru itu sehingga tidak melewati motelnya. Tingkat hunian motel segera merosot, dan Sanders terpaksa melelang semua bisnisnya. Namun hasil jualannya hanya cukup untuk membayar hutang yang ada. Meski Sanders sudah berusia 66 tahun ketika itu dan tidak mempunyai apa-apa yang dapat dibanggakan setelah berusia 55 tahun. Dengan hidup di bawah tanggungan dinas sosial, Sanders berencana mencari segmen pasar baru yang sesuai. Satu-satunya harta paling bernilai yang dimilikinya adalah resep rahasia yang diberi nama “ayam goreng Kentucky”. Menjelang tahun 1956, Sanders telah berhasil meyakinkan belasan restoran guna memasak dan menjual ayam goreng Kentucky; dan memberinya US 4 sen sebagai royalti untuk setiap potong ayam goreng yang terjual. Gembira dengan kesuksesan yang diperoleh, Sanders lalu memuati mobil pikap model 1946 miliknya dengan 50 resep ramuan bumbu dan sebuah periuk untuk ditawarkan kepada beberapa orang yang mau membeli waralaba resepnya. Menjelang tahun 1960, sebanyak 400 buah restoran di Amerika dan Kanada telah menyediakan ayam goreng Kentucky. Dalam waktu 4 tahun, jumlah tempat jualan ayam goreng Kentucky telah meningkat menjadi 650 restoran dengan omset penjualan per tahun mencapai nilai US $ 37 juta. Saat ini terdapat hampir 10.000 restoran ayam goreng Kentucky di seluruh dunia dengan lebih dari 200.000 karyawan dan omset penjualan per tahun lebih dari US $ 8, 2 milyar. Jika saat ini Anda sedang dilanda kegagalan yang bertubi-tubi, cobalah tanamkan dalam diri Anda mengenai janji Tuhan: “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan; sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan” (QS. Alam Nasyrah [94]: 5-6). Nabi saw. bersabda: “Bukan orang mukmin yang sempurna imannya, yaitu seseorang yang tidak menganggap musibah sebagai nikmat, dan kemakmuran sebagai musibah” (HR. al-Thabrânî). Washington Irving mengatakan, “Kegagalan dan kekecewaan membuat kita begitu tertekan, tetapi ia juga mendatangkan kekuatan, membentuk watak, dan ketahanan diri, yang menjadi bekal penting guna mencapai kesuksesan; pikiran sempit mudah dipengaruhi dan dikecewakan oleh nasib malang, tetapi pikiran luas senantiasa berada di atas angin.” Sejenak cobalah perhatikan layang-layang dan pahamilah filosofinya. Ia naik ke angkasa karena melawan angin, bukan? Sebagai manusia ciptaan Tuhan yang dibekali dengan akal dan pikiran, tidakkah Anda berusaha menaklukkan perintang-perintang di depan Anda? Pada suatu ketika, terdapat seorang petani yang memiliki seekor keledai yang telah tua. Suatu hari, keledai jatuh terperosok ke dalam sebuah telaga. Si petani mendengar keledai itu merinkik atau apa saja bunyi yang dikeluarkan oleh seekor keledai apabila terperosok ke dalam telaga. Selepas meneliti keadaan yang ada, si petani merasa kasihan dengan nasib si keledai tersebut. Tetapi pada saat yang sama ia juga memikirkan bahwa tidak ada ruginya jika keledai dan telaga tersebut ditimbuni tanah. Oleh karena itu, ia mengumpulkan tetangga dan menceritakan kepada mereka apa yang terjadi. Kemudian ia meminta mereka bersama-sama menggali tanah untuk menimbuni keledai di telaga agar kesengsaraan sang keledai tidak berkepanjangan. Pada mulanya keledai tua itu menjerit ketakutan! Namun ketika si petani dan tetangga meneruskan menimbuni dengan tanah ke atas punggungnya,…suatu pikiran melintas di kepala keledai itu. Pikirannya tiba-tiba semakin jelas bahwa setiap kali onggokkan tanah menimpa punggun, dia harus menggerakkan punggung guna membuang tanah dan melangkah ke atas! Dia melakukannya setiap kali onggokan tanah menimpa punggungnya. “Menggerak-gerakkan punggung dan melangkah ke atas!” Dia mengulangi berkali-kali untuk meningkatkan keyakinan diri. Tidak terkira betapa sakitnya dia ditimpa onggokkan tanah yang dilemparkan, atau betapa cemasnya situasi yang dihadapi. Keledai tua tersebut tetap bersemangat menentang rasa panik dan terus menggerak-gerakkan punggung untuk membuang tanah yang dilemparkan kepadanya dan melangkah setapak ke atas. Tidak berapa lama kemudian, keledai tua yang telah keletihan serta luka dan memar itu pun melangkah keluar telaga dengan penuh kesuksesan. Apa yang kelihatannya mungkin akan menimbunnya, sebenarnya telah menyelamatkannya. Yang bisa kita ambil dari kisah di atas adalah bahwa ketika kita menghadapi kesulitan, maka senjata ampuh yang bisa kita pakai adalah berpikir positif, dan tidak panik, tidak menyesal, atau tidak kecewa. Kesulitan yang datang untuk menenggelamkan kita biasanya mempunyai potensi untuk mendatangkan manfaat dan rahmat. Ingatlah bahwa kemaafan, keikhlasan, doa, pujian, tindakan, ketabahan, dan harapan, adalah langkah-langkah cemerlang untuk menggerak-gerakkan punggung dan melangkah ke atas keluar dari telaga di mana kita berada.

Kisah Prof. Dr. Hamka dan Tafsir Al-Azhar

Melengkapi uraian ini, kami ingin mengajak Anda untuk bercermin dari pengalamanan Hamka yang menjadikan penjara sebagai kesempatan untuk menyelesaikan Tafsir al-Azhar. Saat perkembangan politik di Indonesia semasa rezim Soekarno semakin buruk, Hamka sebagai tokoh masyarakat dan ulama tak luput dari berbagai hasutan. Ia dituduh menyelenggarakan rapat gelap menyusun rencana pembunuhan Presiden Soekarno dan atas tuduhan tersebut Hamka ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara. Tetapi rupanya penjara ini memberikan hikmah tersendiri bagi Hamka. Meminjam kata-kata Islamisis asal Belanda, Karel Steenbrink, kehidupan Hamka dalam penjara merupakan periode ‘a time of grace’, waktu yang berberkah; “because now he had the time to write a full commentary of the Qur’an” [Sebab sekarang dia mempunyai waktu untuk menulis sebuah tafsir al-Quran yang lengkap]. Komentar Steenbrink ini sangat tepat, karena Hamka sendiri dalam Tafsir al-Azhar-nya membeberkan pengalaman di penjara seperti yang ia tuturkan kepada anak-anaknya. “…Tetapi di samping hati mereka yang telah puas [karena telah memenjarakan saya—pen.], Tuhan Allah telah melengkapi apa yang disabdakan-Nya dalam surah al-Taghabun ayat 11. Yaitu bahwa segala musibah yang menimpa diri manusia adalah dengan ijin Allah belaka. Asal manusia beriman teguh kepada Allah niscaya Allah akan memberikan hidayat ke dalam hatinya. Tuhan Allah rupanya menghendaki agar masa terpisah dari anak istri dua tahun, dan terpisah dari masyarakat, dapat saya pergunakan menyelesaikan pekerjaan berat ini, manafsirkan al-Quran al-Karim. Karena kalau saya masih di luar, pekerjaan ayah ini tidak akan selesai sampai saya mati. Masa dua tahun telah saya pergunakan sebaik-baiknya. Maka dengan petunjuk dan hidayat allah Yang Maha Kuasa, beberapa hari sebelum saya dipindahkan ke dalam tahanan rumah, penafsiran al-Quran 30 juzu’ telah selesai. Dan semasa dalam tahanan rumah dua bulan lebih saya pergunakan pula buat menyisip mana yang masih kekurangan. Hamka sendiri tidak merasa dendam kepada orang-orang yang telah melakukan fitnah yang menyebabkan ia harus mendekam dalam penjara. “Adapun kepada mereka itu, atau yang telah menumpangkan hasadnya dalam fitnah orang lain, setinggi-tinggi yang dapat ayah berikan hanya maaf saja,” demikian Hamka. Di lain pihak, selama penahanannya itu, selain menyelesaikan tafsirnya, Hamka mendapat kesempatan di malam hari untuk salat tahajud, mengkhatamkan al-Quran lebih dari 100 kali. Ia juga membaca buku-buku tasawuf, tauhid, filsafat agama, hadis-hadis Rasulullah, sejarah pejuang-pejuang Islam dan kehidupan ahli-ahli tasawuf dan ulama; jalan akhirat ia pelajari dan resapi. Pencitraan Positif Kegagalan adalah rancangan Ilahi di mana Ia menguji manusia menjalani takdir-Nya untuk membuat mereka lebih tabah. –Billi P.S. Lim— Pencitraan dengan asma Allah al-Muhyî bertujuan menjadikan Anda sebagai manusia yang bijak dan memahami rancangan Ilahi. Menjadi manusia seperti digambarkan rohaniawan China, Mencius: “Bila Tuhan hendak meletakkan tanggung jawab yang berat kepada manusia, Dia akan sering menguji ketabahan mereka, mengukuhkan otot-otot dan tulang mereka dengan pekerjaan berat, membuat mereka kelaparan, menjadikan mereka terlalu miskin, menggagalkan segala usaha yang dilaksanakan agar mereka bisa berpikir, meneguhkan kepribadian, dan melengkapi segala kekurangan yang ada. Ini karena kebanyakan manusia hanya mampu memperbaiki diri setelah melakukan kesalahan. Hanya bila mereka merasa kecewa dalam berpikir dan gagal dalam sembarang tindakan, barulah mampu bangkit lagi. Ketika niat mereka yang tertera di wajah dan suara hati dapat didengar, barulah mereka bisa dipahami oleh orang lain. Sebagai prinsip, sebuah negara yang tidak mempunyai keluarga yang mematuhi undang-undang dan orang-orang yang amanah di satu pihak, serta tidak mempunyai ancaman di pihak lain; mereka pasti akan binasa. Ketika gagal barulah sadar bahwa kebimbangan dan kesengsaraan memberi kita kehidupan, sedangkan kesenangan dan kenyamanan menyebabkan kematian.” Doa dan Harapan Ya Allah, Tuhan Yang Menghidupkan, Jadikan aku hamba-Mu yang mampu membaca kegagalan yang kualami sebagai langkah untuk meraih sukses. Ya Allah, jangan jadikan aku manusia instan, tetapi jadikanlah aku manusia pekerja keras, dan bercita-cita tinggi. []

MANUSIA DILAHIRKAN DALAM KEADAAN FITRAH

MANUSIA DILAHIRKAN DALAM KEADAAN FITRAH

Dr. Sulaiman Al-Kumayi

Direktur Institut Studi Islam dan Perdamaian (INSISMA)

 Manusia pada asalnya berada dalam fitrah. Ketika manusia berada di alam ruh telah ditanya oleh Allah: “Bukankah Aku ini Tuhan kamu”; maka mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi” (QS. Al-A`raf [7]: 172). Selengkapnya Allah berfirman: Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Akui ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)” (QS. Al-A`raf [7]: 172).

Ayat ini berbicara persoalan fitrah dan akidah yang benar yang ditetapkan oleh Allah di alam gaib yang sangat jauh, yang tersembunyi di dalam sulbi anak-anak Adam sebelum mereka lahir ke alam nyata. Anak keturunan yang masih dalam genggaman Sang Maha Pencipta lagi Maha Pemelihara. Lalu, diambil perjanjian dari mereka dengan mengatakan, “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Maka, mereka mengakui rububiyyah Allah, mengakui bahwa hanya Dia yang berhak diibadahi. Mereka bersaksi bahwa Dia adalah Maha Esa. Persaksian ini telah ditetapkan Allah sebagai fitrah manusia dan menjadi sifat dasar manusia sebagaimana firman Allah: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah. Tetaplah pada fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah” (QS. Ar-Rum [30]: 30).

M. Quraish Shihab, dalam Tafsir Al-Mishbah (2003, XI: 56), menegaskan bahwa fitrah dalam ayat ini berarti agama Islam. Shihab mengutip pendapat Thahir Ibn `Asyur yang menyatakan bahwa prinsip kepercayaan akidah Islam sejalan dengan fitrah akliah manusia.  Adapun hukum-hukum syariat serta rinciannya, maka itu bisa merupakan hal-hal yang juga fitri yakni sesuai serta didukung oleh akal yang sehat, atau bahwa dia tidak bertentangan dengan fitrahnya. Namun Ibn `Asyur menggarisbawahi bahwa ada petunjuk fitrah yang sangat jelas dan ada juga yang samar dan sulit. Para ulama dan cendekiawan bertugas menjelaskan yang samar itu karena mereka yang banyak mengenal tabiat manusia, serta telah teruji pemahaman mereka dengan pengalaman memahami syariat. Hati mereka pun cenderung pada kebenaran, tidak terbelokkan oleh hawa nafsu.

Thabathaba`i menulis bahwa agama tidak lain kecuali kebutuhan hidup serta jalan yang harus ditempuh manusia agar mencapai kebahagiaan hidupnya. Manusia tidak menghendaki sesuatu melebihi kebahagiaan. Allah Swt telah memberi petunjuk kepada setiap jenis makhluk—melalui fitrahnya dan sesuai dengan jenisnya—petunjuk menuju kebahagiaannya yang merupakan tujuan hidupnya. Allah juga telah menyediakan untuknya sarana yang sesuai dengan tujuan itu. Allah berfirman: “Tuhan kita ialah (Tuhan) yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk” (QS. Thaha [20]: 50).

Hadis-hadis Rasulullah Saw telah menjelaskan eksisten kefitrahan yang dimiliki manusia ini.

Rasulullah bersabda:

مَامِنْ مَوْلُوْدٍ يُـوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانَهُ أَوْيُنَصِّرَانَهُ أَوْيُمَجِّسَانَهُ (رواه مسلم)

“Tidaklah dilahirkan seorang anak melainkan dalam keadaan fitrah. Maka kedua ibu bapanyalah yang meyahudikannya atau menasranikannya atau memajusikannya.”

كُلُّ مَوْلُوْدٍ يَـوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ- وَفِى رِوَايَةٍ: عَلَى هَذِهِ الْمِلَّةِ- فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانَهُ أَوْيُنَصِّرَانَهُ أَوْيُمَجِّسَانَهُ، كَمَا تُوْلَدُ بَهِيْمَةٌ جَمْعَاءَ، هَلْ تُحِسُّوْنَ فِيْهَا مِنْ جَدْعَاءَ؟

Setiap anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah”—dalam riwayat lain disebutkan: “Dalam keadaan memeluk agama ini—Maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan Yahudi, Nasrani atau Majusi sebagaimana seekor binatang dilahirkan dalam keadaan utuh (sempurna), apakah kalian mendapatinya dalam keadaan terpotong (cacat)” (HR. Bukhari dan Muslim).

Sebuah riwayat yang diberikan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, yang ia terima dari Ismail, dan Ismail menerimanya dari Yunus bin Al-Hasan dan ia menerimanya dari Al-Aswad bin Sarii`, ia berkata:

أَتَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَغَزَوْتُ مَعَهُ فَأَصَبْتُ ظَفَرًا، فَقَاتَلَ النَّاسُ حَتّٰى قَتَلُوا الْوِلْدَانِ، فَبَلَغَ ذٰلِكَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: مَابَالُ أَقْوَامٍ جَاوَزَهُمُ اْلقَتْلُ  اْليَوْمَ حَتّٰى قَتَلُوا الذُّرِّيَةَ؟ فَقَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُوْلَ اللهِ  أَمَاهُمْ أَبْـنَاءُ اْلمُشْرِكِيْنَ، ثُمَّ قَالَ: لاَتَقْتُلُوْا ذُرِّيَّةً،  لاَتَقْتُلُوْا ذُرِّيَّةً، وَقَالَ: كُلُّ نَسْمَةٍ تُـوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ حَتّٰى يُعْرَبَ عَنْهَا لِسَانُهَا، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهَا أَوْ يُنَصِّرَانِهَا (رواه النـسائ)

Aku datang kepada Rasulullah Saw, lalu aku pergi berperang bersama beliau, maka aku pun mendapat kemenangan. Orang-orang pun hebat berperang di hari itu, sampai ada yang membunuh anak-anak. Maka sampailah berita itu kepada Rasulullah Saw. Lalu beliau bersabda: “Apa namanya perbuatan kaum itu. Mereka telah melampaui batas dalam hal membunuh di hari ini, sampai keturunan mereka (anak-anak) pun dibunuhi.” Seorang laki-laki berkata: “Ya Rasulullah, bukankah anak-anak yang dibunuh itu adalah anak-anak musyrikin?” Rasulullah bersabda: “Jangan begitu! Ingatlah bahwa yang terkemuka di antara kamu sekarang ini adalah anak-anak dari orang-orang musyrikin. Jangan dibunuh keturunan, jangan dibunuh keturunan. Ingatlah bahwa tiap-tiap orang dilahirkan dalam keadaan fitrah, sampai lidahnya bisa berucap. Ayah bundayalah yang meyahudikan atau menasranikan.” (HR. An-Nasa’i).

Dalam Shahih Muslim diriwayatkan dari `Iyadh bin Himar, ia berkata, Rasulullah Saw bersabda:

يَقُوْلُ اللهُ: إِنِّى خَلَقْتُ عِبَادِيْ حُنَفَاءَ فَـجَاءَتْهُمُ الشَّـيَاطِيْنُ فَاجْتَالَتْهُمْ عَنْ دِيْنِهِمْ وَحَرَّمَتْ عَلَيْهِمْ مَاأَحْلَلْتُ لَهُمْ

Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku telah menciptakan hamba-hamba-Ku dalam keadaan hanif (lurus). Maka datanglah setan-setan kepada mereka, lalu menyimpangkan mereka dari agamanya dan mengharamkan bagi mereka apa yang telah Aku halalkan bagi mereka.”

Adabeberapa hadis tentang pengambilan anak keturunan manusia ini dari tulang sulbi Adam as dan mereka dibedakan menjadi Ashhab Al-Yamin (golongan kanan atau ahli surga) dan Ashhab Asy-Syimal (golongan kiri atau ahli neraka). Pada hadis tersebut disebutkan adanya pengambilan kesaksian terhadap mereka bahwa Allah adalah Tuhan mereka. Imam Ahmad meriwayatkan dari Anas bin Malik ra, dari Nabi Saw, beliau bersabda:

يُقَالُ لِلرَّجُلِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ يَـوْمَ الْقِيَامَةِ: أَرَأَيْتَ لَوْ كَانَ لَكَ مَاعَلَى اْلأَرْضِ مِنْ شَيْءٍ أَكُنْتَ مُفْتَدِيًابِهِ؟ قَالَ، فَيَقُوْلُ: نَعَمْ، فَيَقُوْلُ: قَدْ أَرَدْتُ مِنْكَ أَهْوَنَ مِنْ ذٰلِكَ، قَدْ أَخَذْتُ عَلَيْكَ فِى ظَهْرِهِ آدَمَ أَنْ لاَتُشْرِكَ بِيْ شَيْئًا، فَأَبَيْتَ إِلاَّ أَنْ تُشْرِكَ بِيْ

Ditanyakan kepada salah seorang penghuni neraka pada hari Kiamat kelak: ‘Bagaimana pendapatmu jika engkau mempunyai sesuatu di atas bumi, apakah engkau bersedia untuk menjadikannya sebagai tebusan?’ Maka ia menjawab: ‘Ya, bersedia.’ Kemudian Allah berfirman: ‘Sesungguhnya Aku telah menghendaki darimu sesuatu yang lebih ringan dari itu. Aku telah mengambil perjanjian darimu ketika masih berada di punggung Adam, yaitu agar engkau tidak menyekutukan Aku dengan sesuatu pun, tetapi engkau menolak, dan tetap mempersekutukan Aku.’” (HR. Bukhari dan Muslim).

Ada hadis lain, diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Muslim bin Yasar Al-Juhani, bahwa Umar bin Al-Khaththab ra pernah ditanya mengenai ayat ini, ‘Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Akui ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi’(QS. Al-A`raf [7]: 172). Maka, Umar pun menjawab, aku mendengar Rasulullah saw ditanya mengenai ayat tersebut, kemudian beliau menjawab:

إِنَّ اللهَ خَلَقَ آدَمَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ ثُمَّ مَسَحَ ظَهْرَهُ بِيَمِيْنِهِ، فَاسْتَخْرَجَ مِنْهُ ذُرِّيَّةً، قَالَ: خَلَقْتُ هَؤُلاَءِ لِلْجَنَّةِ وَبِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ يَعْمَلُوْنَ، ثُمَّ مَسَحَ ظَهْرَهُ فَاسْتَخْرَجَ مِنْهُ ذُرِّيَّةً، قَالَ: خَلَقْتُ هَؤُلاَءِ لِلنَّارِ وَبِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ يَعْمَلُوْنَ. فَـقَالَ الرَّجُلُ: يَارَسُوْلَ اللهِ فَفِيْمَ الْعَمَلُ؟ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا خَلَقَ اللهُ الْعَبْدَ لِلْجَنَّةِ، اِسْتَعْمَلَهُ بِأَعْمَالِ أَهْلِ الْجَنَّةِ، حَتّٰى يَمُوْتَ عَلَى عَمَلٍ مِنْ أَعْمَالِ أَهْلِ الْجَنَّةِ، فَيُدْخِلُهُ بِهِ الْجَنَّةَ. وَإِذَا خَلَقَ الْعَبْدَ لِلنَّارِ، اِسْتَعْمَلَهُ بِأَعْمَالِ أَهْلِ النَّارِ، حَتّٰى يَمُوْتَ عَلَى عَمَلٍ مِنْ أَعْمَالِ أَهْلِ النَّارِ، فَيُدْخِلُهُ بِهِ النَّارَ

“Sesungguhnya Allah menciptakan Adam as, lalu Allah mengusap punggungnya dengan tangan kanan-Nya, maka keluarlah darinya keturunannya dan Allah berfirman, ‘Aku telah menciptakan mereka sebagai ahli surga dan dengan amalan ahli surga mereka beramal.’ Lalu mengusap lagi punggungnya dan mengeluarkan darinya keturunan yang lain, Allah pun berfirman, ‘Aku telah menciptakan mereka ahli neraka dan dengan amalan ahli neraka mereka beramal.’ Kemudian ada seseorang yang bertanya, ‘Ya Rasulullah, lalu untuk apa kita beramal?’ Beliau menjawab, ‘Sesungguhnya, jika Allah menciptakan seorang hamba sebagai penghuni surga, maka Allah menjadikannya berbuat dengan amalan penghuni surga sehingga ia meninggal dunia di atas amalan-amalan penghuni surga lalu ia dimasukkan ke dalam surga karenanya. Dan jika Allah menciptakan seorang hamba sebagai penghuni neraka, maka Dia akan menjadikannya berbuat dengan amalan penghuni neraka sehingga ia meninggal dunia di atas amalan dari amalan-amalan penghuni neraka lalu ia dimasukkan ke dalam neraka karenanya.’”  (HR. Abu Dawud, An-Nasa’i, At-Turmidzi, dan Ibnu Hibban). []

MEMBACA AL-QURAN DI KUBURAN DAN KIRIMKAN PAHALANYA

Dr. Sulaiman Al-Kumayi

Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang

Membaca al-Qur’an di atas kuburan hukumnya boleh, bukan perbuatan bid`ah atau syirik. Salah seorang ulama terkemuka dan pendiri Mazhab Hanbali, Imam Ahmad bin Hanbal membolehkan membaca al-Qur’an di atas kuburan. Beliau terkenal sangat ketat dalam memakai hadis. Semula beliau memang melarang membaca al-Qur’an di atas kuburan dan mengingkari sampainya pahala bacaan Kitab Suci itu kepada orang-orang mati. Namun, beliau kemudian mengubah pendapatnya, dan menyatakan pahala bacaan al-Qur’an yang dihadiahkan kepada si mati itu sampai. Perubahan pendirian beliau ini didasari oleh sebuah informasi terpercaya yang menyebutkan bahwa Umar bin Khaththab pernah berwasiay agar dibacakan Surah al-Fatihah dan akhir Surah al-Baqarah pada bagian kepala setelah beliau dikubur. Sejak saat itu, Imam Ahmad bin Hanbal menarik kembali pendapatnya.

Kitab Tadzkirah al-Qurthubi (tth: 25), merekam pendapat Imam Ahmad bin Hanbal tersebut sebagai berikut:

كَانَ اْلإِمَامُ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ تَعَالَى يَقُوْلُ: اِذَا دَخَلْتُمُ اْلمَقَابِرَ فَاقْرَأُوْا فَاتِحَةَ اْلكَتَابِ وَاْلمَعَوِّذَتَيْنِ وَقُلْ هُوَ اللهُ اَحَدٌ وَاجْعَلُوْا ثَوَابَ ذٰلِكَ لأَِهْلِ اْلمَقَابِرِ فَإِنَّهُ يَصِلُ إِلَيْهِمْ، وَ كَانَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ يُنْكِرُ قَبْلَ ذٰلِكَ وُصُوْلَ الثَّوْبِ مِنَ اْلأَحْيَاءِ لِلْمَوْتَى فَلَمَّا حَدَّثَهُ بَعْضُ الثِّقَاتِ أَنْ عُمَرُ بْنَ اْلخَطَّابِ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ اَوْصَى إِذَا دُفِنَ أَنْ يُقْرَأَ عِنْدَ رَأْسِهِ فَاتِحَةَ اْلكَتَابِ وَخَاتِمَةُ سُوْرَةِ اْلبَقَرَةِ رَجَعَ عَنْ ذٰلِكَ

وَكَذٰلِكَ بَلَغَنَا عَنِ الشَّيْخِ عِزِّ الدِّيْنِ عَبْدِ السَّلاَمِ رَحِمَهُ اللهُ أَنَّهُ يُنْكِرُ وُصُوْلَ ثَواَبِ اْلقِرَأَةِ لِلْمَوْتَى وَ يَقُوْلُ تَعَالَى: وَاَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلاَّ مَاسَعٰى فَلَمَّا مَاتَ رَاٰهُ بَعْضُ أَصَحَابَهِ فَسَأَلَهُ عَنْ ذٰلِكَ فَقَالَ فَقَدْ رَجَعْتُ عَمَّا كُنْتُ اَقُوْلُهُ مِنْ عَدَمِ وُصُوْلِ الثَّوْبِ إِلَى الْمَوْتَى مِنَ اْلقَارِئِ حِيْنَ رَأَيْتُ وُصُوْلَهُ وَأَنَا فِى اْلقَبْرِ

 وَيُؤَيِّدُ ذٰلِكَ مَارَوَاهُ اْلحَافِظُ السَّلَفِىُّ مَرْفُوْعًا مَنْ مَرَّ بِاْلمَقَابِرِ  فَقَرَأَ قُلْ هُوَ اللهُ اَحَدٌ اِحْدَى عَشَرَةَ مَرَّةً ثُمَّ وَهَبَ أَجْرَهُ بِاْلأَمْوَاتِ اُعْطِىَ مِنَ اْلأَجْرِ بَعْدَدِ   اْلأَمْوَاتِ (تذكرة القرطوبى: ۲۵)

Adalah Imam Ahmad bin Hanbal ra berkata, “Apabila kamu masuk daerah pekuburan, maka bacalah oleh akan Surah al-Fātihah, Mu`awwidzatain (Surah al-Falaq dan an-Nas), dan Qul Huwallahu Ahad, dan jadikanlah pahala yang demikian itu ahli kubur, maka sesungguhnya hal itu bisa sampai kepada mereka.” Dan, Imam Ahmad ra sebelumnya pernah mengingkari tentang sampainya pahala dari orang-orang yang hidup bagi orang-orang yang mati. Namun ketika disampaikan informasi kepadanya oleh sebagian orang-orang kepercayaan, bahwa `Umar bin Khaththab ra pernah berwasiat, apabila ia telah selesai dikuburkan agar dibacakan pada bagian kepalanya Surah al-Fatihah dan akhir Surah al-Baqarah, maka rujuklah beliau [maksudnya: Imam Ahmad menarik kembali pendapatnya yang semula, dan menganjurkan membaca al-Qur’an di atas kuburan—pen].

Demikian juga telah sampai berita kepada kami tentang cerita Syaikh Izzuddin bin Abdus-Salam, bahwa beliau juga mengingkari sampainya pahala membaca al-Qur’an bagi orang mati. Dan dikatakannya firman Allah Ta`ala: “Dan tidaklah bagi manusia itu melainkan apa yang ia usahakan” (QS.an-Najm [53]: 39); tetapi setelah beliau meninggal dunia, sebagian sahabatnya melihatnya di dalam tidur, maka ditanyakan tentang pendapatnya itu. Beliau menjawab, “Sesungguhnya aku telah rujuk [menarik kembali tentang apa yang pernah diucapkannya] tentang tidak sampainya pahala membaca al-Qur’an kepada orang-orang mati. Sayang, aku melihat ini sedangkan aku sudah di dalam kubur.”

Dan masalah demikian itu dikuatkan lagi oleh al-Hāfizh as-Salafi dengan Hadis Marfu`, “Barangsiapa yang melewati daerah pekuburan, lalu membaca Suraf al-Ikhlas 11 kali, kemudian pahalanya diberikan/dihadiahkan kepada orang-orang mati, maka ia memperoleh pahala menurut bilangan banyaknya orang-orang yang mati.”

Berdasarkan pendapat ulama di atas jelaslah bahwa membaca al-Qur’an di atas kuburan dan kemudian pahalanya dihadiahkan kepada si mati sampai. Karena itu, Anda tidak perlu ragu-ragu dengan penjelasan ini. Memang ada sebagian ustadz yang dengan pongahnya berpendapat bahwa bacaan al-Qur’an tidak sampai kepada si mati. Ustadz atau apalah sebutannya seperti ini menunjukkan kedangkalan ilmunya. Namun sangat disayangkan, mereka ini telah berani mengeluarkan pendapat yang tidak punya dasar yang kuat. Semoga kita dilindungi dari mereka ini.

Untuk memperkuat penjelasan di atas, berikut saya kemukakan lagi keterangan Nabi saw dan pendapat ulama tentangya. Nabi saw bersabda:

عَنْ مَعْقَلٍ بْنِ يَسَارٍ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِىّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: اِقْرَؤُا يس عَلٰى مَوْتَاكُمْ (رواه ابوداود والنسائ واحمد وابن حبان وصححه)

Ma`qil bin Yasar ra meriwayatkan dari nabi saw, beliau bersabda, “Bacakan Surat Yasin pada orang mati kalian” (HR. Abu Dawud, an-Nasa’i, Ahmad, dan Ibnu Hibban dan disahihkan).

Imam Ahmad bin Hanbal berkata:

كَانَ اْلمَشِيْخَةُ  يَقُوْلُوْنَ: اِذَاقُرِئَتْ يس خُفِّفَ عَنْهُ بِهَا

Para masyayikh/para ulama berkata, “Apabila dibacakan Surah Yasin pada orang yang mati, Allah akan meringankan baginya.”

Imam Ibnu Taimiyah berkata:

اِنَّ اْلمَيِّتَ يَنْتَفِعُ بِقَرَاءَةِ اْلقَرْآنِ كِمَا يَنْتَفِعُ بِاْلعِبَادَةِ وَاْلمَالِيَّةِ مِنَ الصَّدَقَةِ وَنَحْوِهَا

“Sesungguhnya mayit itu bisa memperoleh manfaat sebab bacaan al-Qur’an, sebagaimana bisa manfaatnya amaliyah berupa sedekah dan lain-lain.” []

AL-MALIK: SUMBER MOTIVASI

Dr. Sulaiman Al-Kumayi, M.Ag.

Kata ‘Malik’ terdiri dari tiga huruf, Mîm, Lâm, dan Kâf, yang rangkaiannya mengandung makna kekuatan, dan kevalidan. Kata ini pada mulanya berarti ‘ikatan dan penguatan’. Kata ini terulang dalam al-Quran sebanyak lima kali. Al-Malik maknanya adalah Zat yang tidak membutuhkan, dalam Zat dan Sifat-Nya, segala sesuatu yang ada; sebaliknya, semua yang ada butuh kepada-Nya. Dia Maha Raja Mutlak yang sebenarnya. Dia-lah yang mengendalikan segala urusan makhluk-makhluk-Nya dengan seksama tanpa membutuhkan bantuan atau dihalangi. Tidaklah terbayangkan oleh seorang hamba, bahwa ia memiliki kerajaan secara mutlak, sebab semua yang dimilikinya itu hakikatnya adalah milik Allah Swt. Jika seseorang membayangkan kehidupan yang fana ini, betapa pun kerajaan yang dimilikinya, tentu akan lenyap disebabkan oleh dua perkara: pertama, dengan sebab kematian dan berpindahnya kerajaan itu kepada orang lain, padahal Allah Swt. adalah Penguasa kehidupan, kematian dan kebangkitan. Kedua, gugurnya pengakuan kekuasaan bagi selain Allah, yaitu sesudah ditiupkan sangkakala pertama, yakni ketika Allah Swt. menyerukan:“Kepunyaan siapakah kerajaan pada hari ini?” (QS. al-Mu’min [40]: 16). Ketika tidak ada yang menyahut, maka Allah Swt. sendirilah yang menjawabnya: Hanya kepunyaan Allah Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan. Kalau begitu, tidak ada kerajaan selain dari Kerajaan Allah Swt. Ketika kita memahami dengan baik dan menginternalisasikan al-Malik dalam kehidupan kita: tahulah kita bahwa alam semesta ini berada dalam kerajaan Allah, dalam genggaman-Nya. Tidak ada seorang pun yang pantas mengklaim dirinya sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di dunia ini. Jika ia diberi kesempatan untuk menjadi seorang penguasa, maka agenda utamanya adalah memberi rasa aman, damai, sejahtera dan bahagia lahir dan batin bagi saudara-saudaranya. Dia tidak akan mengeksploitasi kelemahan saudaranya. Karena dia sadar Tuhan saja tidak akan membebani hamba-Nya, “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya” (QS. al-Baqarah [2]: 286).

Sadarlah, sebenarnya apa yang kita miliki? Apa yang dapat kita miliki? Kita sendiri adalah milik-Nya. Lalu untuk apa kita yang diberi al-malik tidak mau meneladani al-Malik?

Al-Malik: Ubah Berpikir Anda

Penemuan terbesar dari generasi saya adalah bahwa manusia dapat mengubah hidupnya dengan mengubah sikap berpikirnya. –William James, Psikolog—

Bagaimana Anda sekarang? Pernahkah Anda berusaha mengubah cara berpikir Anda? Al-Malik harus Anda jadikan sebagai landasan untuk berpikir ke depan. Karena hanya dengan mengubah pikiranlah manusia bisa mencapai apa yang ia inginkan. Ingatkah Anda pada firman Tuhan, Mâliki yawm al-dîn, Yang menguasai Hari Kepatuhan, atau Yang menguasai alam atau dunia kepatuhan. Ini bukanlah sebuah firman tanpa makna. Tetapi sebuah firman yang mengajarkan kepada manusia perlunya mematuhi apa yang menjadi kehendak Tuhan. Karena Dia telah menyerahi kita untuk mengatur alam dunia, mengelola dunia sesuai dengan kehendak-Nya, dan bukan kehendak kita.

Dan Dialah yang menjadikan kamu semua sebagai wakil-wakil-Nya di bumi. Dia meninggikan derajat sebagian kamu melebihi sebagian yang lain. Allah bermaksud mendidik, melatih, dan mengevaluasi kamu tentang apa yang dianugerahkan kepadamu. Sesungguhnya Tuhan engkau amat cepat dalam menghukum. Dan, sesungguhnya Dia itu Maha Pengampun, Maha Penyayang (QS. al-An-`âm [6]: 165).

Bacalah sekali lagi firman itu, kita manusia adalah ‘wakil-wakil-Nya’. Meminjam kata-kata bijak wartawan televisi David Brinkley, “Orang yang sukses adalah dia yang dapat meletakkan landasan yang kuat dengan bata yang dilemparkan orang lain kepadanya.” “Bila Anda gigih melakukan hal-hal kecil dengan benar, niscaya Anda akan mampu menciptakan suatu yang mencengangkan”, kata Don Gabor, anggota American Society for Training and Development & Pelatih Komunikasi Antarpribadi. Saya ingin mengadopsi kata-kata ini menjadi:

“Orang yang sukses adalah dia yang dapat meletakkan landasan yang kuat dengan al-malik yang dilemparkan al-Malik kepadanya.”

Saya ingin berbagi cerita dengan Anda, kisah si kembar siam dampit (laki dan perempuan) Lori dan Reba Schappel. Lori dan Reba, dua anak manusia yang disatukan pada bagian belakang kepalanya, menghadap pada arah yang berlawanan sehingga mereka tidak pernah bisa saling melihat wajah kembarannya kecuali di depan cermin. Aliran darah mereka sebagian bersatu, namun masing-masing dari mereka memiliki otak sendiri, sehingga memungkinkan untuk dipisahkan. Reba menderita spina bifida, kondisi tulang belakang yang membuat bergantung penuh pada saudara kembarnya. Lori mendorongnya ke mana pun mereka pergi dengan kursi tanpa sandaran yang dirancang khusus. Menderitakah mereka? Mungkin bagi Anda yang hanya melihat sesuatu dari perspektif diri sendiri dengan mudah Anda akan mudah mengatakan bahwa mereka menderita, tidak hanya menderita lahir, tetapi juga batin. Tidak bagi si Lori dan Reba. Dengarlah pengakuan Lori—sang kakak:

“Saya hidup seperti orang lain. Saya tidak melakukan perbedaan. Kami tidak menyesal atau dendam, kami tidak berpikir macam-macam. Kami dibesarkan untuk mengetahui bahwa kami agak berbeda, namun kemudian menyadari kami sama seperti lainnya. Semua orang memiliki cacat atau ketidakmampuan.”

Luar biasa bukan! Mengapa mereka bisa merasakan bahwa diri mereka tidak cacat? Karena mereka sepenuhnya percaya pada Tuhan. Tuhan tidak pernah mengabaikan orang-orang yang tidak pernah mengabaikan-Nya. Mereka tetap menggantungkan harapan kepada Tuhan, sehingga Tuhanlah sumber motivasi mereka. Dengarkan sekali lagi pengakuan mereka: Saya percaya penuh pada Tuhan…Saya tidak percaya dengan kekacauan yang disebabkan oleh ciptaan Tuhan. Dia memiliki alasan untuk menciptakan kami dengan keadaan ini, dan mengapa saya harus mengacaukan apa yang Dia ciptakan?

Al-Malik: Andalah Raja itu

Jesus—atau Isa dalam tradisi Islam—suatu ketika ditanya oleh seorang muridnya yang menginginkan agar Tuhan mengejawantahkan surga-Nya di dunia ini. Dengan tersenyum Rûh Allâh ini—sebutan untuk Nabi Isa—menjawab: “The Kingdom of God is within you” (Kerajaan Tuhan ada dalam dirimu); sehingga melahirkan “man is the image of God, imago dei”, manusia adalah citra Tuhan, bayangan Tuhan.

Dalam tradisi tawasuf, seperti yang dipresentasikan oleh Hamzah Fansuri, hati merupakan istana Tuhan. Di sinilah Tuhan “bersemayam.” Karena itulah sufi agung Imâm al-Ghazâlî, menegaskan bahwa kerajaan yang tepat bagi seseorang itu adalah hatinya dan jiwanya sendiri, di mana tentara adalah seleranya, amarahnya, dan kasih sayangnya; sementara rakyat adalah lidahnya, matanya, tangannya, dan anggota tubuhnya yang lain. Jika dia memerintah mereka, dan mereka tidak memerintahkannya, dan jika mereka menaatinya dan dia tidak menaati mereka, maka dia akan mencapai tingkat raja di dunia ini. Dan jika hal itu dipadu dengan kenyataan bahwa dia mandiri dari semua orang, namun semua orang membutuhkan dirinya demi kehidupan mereka sekarang dan di masa mendatang, maka dia akan menjadi raja sejati.

Menurut Imâm al-Ghazâlî tingkatan raja sejati ini hanya ada pada para nabi—semoga rahmat Allah senantiasa tercurah atas mereka semua. Karena mereka tidak membutuhkan petunjuk menuju akhirat dari siapa pun kecuali dari Allah Swt., sementara semua orang membutuhkan petunjuk dari mereka. Di bawah para nabi ada para ulama, yang merupakan warâts al-anbiyâ’, para pewaris para nabi. Namun, kadar mereka sebagai raja sebanding dengan kemampuan mereka mamandu manusia, dan sebanding dengan tidak butuhnya mereka pada petunjuk makhluk siapa pun. Dengan sifat-sifat tersebut seorang manusia mendekati malaikat dalam sifat-sifatnya, kemudian dia mendekatkan diri kepada Allah Swt. melalui sifat-sifat itu.

Kerajaan yang digambarkan di atas adalah anugerah Allah jua yang merupakan Raja yang mutlak yang tidak dapat disentuh kekuasaan-Nya. Untuk memperjelas apa yang dimaksud dengan ‘Andalah raja sejati itu’, Imâm al-Ghazâlî menuturkan seorang `arif ketika menjawab pertanyaan seorang pangeran—yang sok berkuasa.

“Mintalah kepadaku apa yang Anda butuhkan,” kata sang pangeran. Dijawab dengan bijak oleh sang `arif, “Begitukah cara Anda berbicara kepadaku, padahal aku memiliki dua abdi yang menjadi tuan Anda?” Dengan penuh keheranan, sang pangeran malah balik bertanya, “Siapakah mereka berdua itu?” Sekali lagi dengan senyum dan tenang, sang `arif menjelaskan, “Kerakusan dan hawa nafsu: karena aku telah menaklukkan mereka, sedangkan mereka telah menaklukkan Anda. Aku memerintah mereka, sedangkan mereka memerintah Anda.”

Muhammad Iqbal dalam sebuah sajaknya yang berjudul Perwakilan Pribadi bisa menjelaskan lebih jauh apa makna ‘Andalah Raja itu’.

Jika engkau dapat kuasai untamu, niscaya dunia kau kuasai

Di kepalamu akan berkilau singgasana Sulaiman

Dirimu akan jadi cemerlang dunia, selama dunia ini masih berkembang

Alangkah nikmatnya jadi khalifah Ilahi di bumi ini

Segala unsur tunduk tekun kepadamu! Niyabat-i-Ilahi adalah bagai jiwa alam semesta

Ujudnya jadi bayangan Nama Yang Terluhur

Diketahuinya segala rahasia hingga yang sekecil-kecilnya

Dikerjakannya perintah Tuhannya Jika didirikannya kemah di alam luas ini

Maka digulungnya permadani zaman yang uzur.

Kecakapannya penuh sinar kehidupan

Dan ingin mewujudkan dirinya Dia akan menciptakan dunia lain yang baru

Dunia-dunia kecil dengan kelengkapannya di atas bumi ini

Bermekaran bagai mawar dari benih khayalnya

Dijadikannya setiap alam yang kasar berubah kemurnian

Dipindahkannya patung-patung dari rumah suci

Sentuhannya menggetarkan dawai kalbu jadi musik merdu

Bangun dan tidurnya demi Allah semesta

Diajarkannya kepada yang dewasa lagu muda belia

Dan ditaburkannya cahaya bahagia Kepada umat manusia

Serta digemakannya amanat gembira dan peringatan

Dia datang seperti seorang prajurit

Seperti seorang jenderal ataupun pangeran gagah perkasa

Dialah sebab terakhir dari Allah Yang mengajarkannya tiap nama benda

Dialah tabir rahasia dari Maha Besar Tuhan

Musa yang diperkukuh dengan tongkatnya I

lmunya berpasangan dengan kodrat manusia unggul

Langkahnya gagah perkasa mengeringkan Laut Merah

Dipimpinnya Bani Israil dari Mesir Kuno “Bangkitla!” pekikinya lalu mereka yang mati ruhani bangkit bagai dahan pohon tusam Kepribadiannya jadi pembebasan dunia

Karena sifat luhurnya dunia pun terhidar dari bencana

Bayangannya jadi payung dari terik matahari

Wujudnya yang padu memberi nilai bagi segala yang ada Jejak langkahnya jadi pandangan yang luas …………………………………..

Umat manusia adalah ladang dan kaulah pemanennya Kaulah arah tuju kafilah kehidupan.

Semoga Anda semua memperoleh berkah dari asma Allah Al-Malik ini dan mempraktikkannya dalam kehidupan Anda. Amin.

MEREGUK KASIH SAYANG ALLAH

Ar-Rahmân dan ar-Rahîm:

“Vitamin Untuk Jiwa”

 Dr. Sulaiman Al-Kumayi

        Kami yakin Anda pasti tidak pernah telat sarapan pagi, apa pun jenis makanan yang Anda konsumsi. Karena Anda menganggap sarapan pagi merupakan bagian terpenting dalam hidup Anda, untuk memperkuat fisik Anda. Tetapi mengapa Anda tidak menyisihkan lima menit saja untuk “sarapan pagi bagi jiwa” dengan al-Rahmân dan al-Ram. Cobalah Anda renungkan sejenak tentang diri Anda sendiri. Tanyalah pada hati nurani Anda: apa yang sudah diterima tadi malam. Anda tertidur pulas dengan mimpi indah. Rumah Anda aman tanpa kemalingan. Istri dan anak-anak Anda ceria di pagi ini. Pernah Anda merasa bahwa semua itu adalah karena kasih-Nya Allah pada Anda.

Cobalah sebelum Anda berangkat ke tempat kerja untuk membina batin Anda, hati Anda, jiwa Anda, pikiran Anda, dan wawasan Anda. Sudahkah dijejali dengan rasa kasih? Jika sudah, berangkatlah sekarang dengan rasa kasih, hilangkan sifat-sifat yang berlawanan dengan kasih yang sudah ada dalam jiwa Anda. Seandainya belum? Cobalah Anda tanya pada hati nurani Anda. Pejamkan mata, tarik nafas dalam-dalam dan hembuskan sifat-sifat kebencian dan permusuhan dalam diri Anda. Lakukanlah berulang-ulang. Berusahalah membina jiwa Anda. Alan Jones pernah menyarankan:

Kedambaan dan keinginan berperanan besar dalam bina jiwa. Seakan-akan Allah dengan sengaja telah menanamkan hasrat-hasrat yang tak terpenuhi di dalam hati kita supaya hati kita dapat terentang melampaui kemampuannya sekarang. Rentangan seperti ini diperlukan dalam bina jiwa. Tidak cukup tahu tentang bina jiwa, meskipun ada orang yang suka coba-coba dalam semacam holtikultura kejiwaan. Coba-coba dalam hal ini hanyalah upaya untuk mencegah supaya jiwa tidak sungguh-sungguh lahir. Upaya ini merupakan bentuk perlawanan yang memedihkan hati, perlawanan terhadap kehidupan sendiri yang didambakan oleh jiwa.

 Kekuatan kasih Allah menciptakan kemungkinan-kemungkinan tak terbatas dan kekuatan kita untuk membawa yang terbaik dari kemungkinan-kemungkinan tersebut ke dunia ini. Karena itu, tanamkan dalam jiwa, dalam mind, dan dalam hati (qalb) bahwa di mana kita, di situlah Tuhan. Yang berarti di mana dan kapanpun kita, di situ tertebar kasih Allah. Hazrat Pir Nader Shah Angha dalam “Sacred Word” mengemukakan:

Wahai Tuhan, bagi yang mencari kemurnian dan hati-hati yang sadar,

Dalam ingatan orang-orang yang diberkahi Keagungan Tuhanmu,

Bagi yang  mencari ketulusan dan cinta mereka,

Bagi yang mencari panggilan kegembiraan sewaktu bangun tidur di waktu fajar,

Biarkan hati orang-orang suci menerima Buku-Ku,

Menyanyikan cinta-Ku, menyatakan Panggilan Cinta-Ku.

Di sinilah pentingnya, ar-Rahmân dan ar-Rahîm sebagai sumber vitamin bagi jiwa-jiwa yang gersang dan kering dari perasaan kasih kepada sesama manusia. Orang yang mengikatkan dirinya hanya kepada Allah, kepada ar-Rahmân dan ar-Rahîm sedetikpun ia tidak akan pernah menampilkan kebencian. Setiap perkataannya mengeluarkan mutiara-mutiara kasih. Setiap tatapan matanya memancarkan kasih. Gerakan kaki dan tangannya hanya menolong dengan dasar kasih, bukan pamrih. Dalam hatinya hanya berisi penuh dengan kasih. Karena di situlah ia merasakan kebahagiaan. Meminjam kata-kata Rachel Varnhagen: “Saya selalu memberi banyak dan dengan demikian merasa bahagia lebih daripada suka.”

Bagikan “Vitamin” Cinta dan Kasih Anda

Dia telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang.

QS. al-An-`âm [6]: 12

Penting bagi Anda adalah membagikan “vitamin” kasih kepada sesama makhluk Tuhan. Kekuatan kasih atau cinta akan mampu menaklukkan watak manusia yang keras, sekeras singa sekalipun. Rûmî dalam Fî mâ Fîhi menuturkan sebuah kisah tentang seekor singa yang bisa ditaklukkan dengan kekuatan kasih atau cinta.

Demikianlah berita mengenai seekor singa sampai ke setiap sudut dunia. Seorang lelaki yang merasa kagum dengan berita itu berjalan ke dalam hutan dari tempat yang jauh untuk melihat singa. Selama setahun penuh ia berusaha menahan beratnya perjalanan, berjalan dari desa ke desa. Ketika ia tiba ke hutan dan melihat singa itu dari kejauhan, ia diam saja dan tidak dapat mendekat. “Apakah ini?” tanya mereka kepadanya. “Engkau datang tanpa rasa cinta dan kasih sama sekali kepada singa ini. Singa ini memiliki watak bila seseorang datang kepadanya dengan berani dan membelainya dengan cinta, ia tidak akan melukai orang itu atau berbuat sesuatu kepadanya; akan tetapi jika seseorang merasa takut dan cemas, singa itu akan sangat marah kepadanya; bahkan ia menyerang beberapa orang untuk membunuhnya karena mereka mempunyai pikiran buruk tentang dirinya.

 Meneladani ar-Rahmân dan ar-Rahîm berarti seseorang harus meniru segala sesuatu yang terkandung dalam kata itu, kemudian menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Ketika akan mengakhiri salat, kita menoleh ke kiri dan ke kanan. Saat menoleh ke kanan kita mengucapkan, “al-salâmu `alaikum warahmatullah wa barakatuh” (salam sejahtera, rahmat dan berkah-Nya untuk kalian semua). Demikian saat menoleh ke kiri, kita mengucapkan ucapan yang senada. Ucapan ini kita ulang-ulang secara formal selama lima kali dalam sehari-semalam, belum lagi ditambah dengan salat-salat sunat.

Kita seharusnya menyadari bahwa tugas kita di planet bumi ini adalah menyebarkan atau membagikan “vitamin” kasih kepada siapa pun, tanpa memandang perbedaan ras, agama, suku bangsa, partai politik dan sebagainya. Bahkan kasih itu, tidak terbatas hanya pada sesama manusia, tetapi kasih juga harus kita berikan kepada binatang, tumbuhan dan alam sekitar yang mengitari kita. Dalam sebuah hadis Nabi saw. bersabda,

Orang-orang yang bersifat kasih, mereka dikashi Tuhan Yang Maha Pengasih. Maka hendaklah kamu semua mengasihi makhluk yang ada di bumi, niscaya makhluk di langit mengasihi kamu.”

Imam al-Ghazali menerangkan bahwa manusia yang memiliki sifat ar-Rahmân adalah manusia yang menunjukkan kerahiman kepada orang yang lalai, dengan mengajak dia supaya jangan lagi melalaikan Allah Swt., melalui teguran ataupun nasihat, dengan kelembutan bukan dengan  kekasaran. MemAndang orang yang durhaka dengan mata yang rahim, bukan dengan mata yang menghina. MemAndang setiap kedurhakaan yang dilakukan di dunia ini sebagai kemalangannya sendiri, sehingga dia berupaya semampunya menghapuskannya—mencurahkan kerahimannya kepada orang yang durhaka, agar orang yang durhaka itu dapat diselamatkan dari terkena murka Allah, karena dengan terkena murka Allah itu berarti mereka terjauhkan dari Allah.

Di sinilah pentingnya kita menginternalisasi al-Rahmân itu dalam kehidupan pribadi kita sendiri sebelum menyebarkannya kepada orang lain. Perlu latihan-latihan intensif agar benar-benar terhunjam sifat itu dalam hati, pikiran dan jiwa kita. Jika itu sudah dipahami dengan benar, sekarang dan harus sekarang bertekadlah untuk menyebarkannya. Presiden Amerika, Calvin Coolidge menyatakan, “Tak seorangpun pernah diberikan kehormatan atas apa yang diterimanya. Kehormatan diberikan sebagai imbalan atas apa yang diberikannya.” John C. Maxwell menambahkan, “Memberi adalah tingkat kehidupan tertinggi.”

Bait-bait di bawah  ini bisa dijadikan sebagai bahan latihan ketika Anda bangun  tidur atau akan bepergian ke tempat kerja atau tempat di mana saja yang Anda tuju. Ulangi beberapa kali.

Tuhan, jadikanlah aku sebuah instrumen Kasih-Mu.

Di mana ada kebencian—biarkan aku menebar Cinta,

Di mana ada luka-luka hati—biarkan aku menjadi Penghibur,

Di mana ada keraguan—biarkan aku menebar Keyakinan.

Di mana ada keputusasaan—biarkan aku menebar Harap.

Di mana ada kesedihan—biarkan aku berbagi Kebahagiaan.

Di mana ada kegelapan—biarkan aku memberi Cahaya.

–Sulaiman al-Kumayi–

Kasih Umar bin Khaththab dan Seorang `Abid

Betapa pentingnya menyebar kasih, para sahabat Nabi saw. dalam kehidupan mereka telah mempraktikkan sifat al-Rahman itu. Dalam al-Mawâizh al-`Ushfuriyyah, karya Syaikh Muhammad bin Abu Bakar al-`Ushfuri mengemukakan sebuah kisah seorang sahabat Nabi, Umar bin Khaththab dengan seekor burung. Pada suatu hari sahabat Umar bepergian  di Kota Madinah. Tiba-tiba beliau melihat anak kecil menggenggam seekor burung pipit untuk bermain-main. Karena kasih sayang Umar kepada burung tadi, ia membujuk anak kecil itu agar menjual  burung tersebut kepadanya. Anak kecil tersebut setuju, setelah terjadi transaksi, Umar melepas burung tersebut. Setelah beliau wafat, mayoritas para sahabat bermimpi berjumpa Umar dan bertanya.

Sahabat        : “Bagaimana Allah berbuat pada Anda?”

Umar            : “Allah Swt. mengampuni aku dan membebaskan siksaanku.”

Sahabat        : “Apakah sebabnya? Apa karena kedermawananmu, keadilanmu  dan kezuhudanmu?”

Umar            : “Ketika para manusia meletakkan aku dalam kubur dan menimbun aku lalu mereka pulang, tinggallah aku sendirian di dalam kubur. Maka datanglah dua malaikat masuk dalam kuburku. Akalku menjadi hilang dan anggota tubuhku gemetar ketakutan karena dua malaikat itu. Keduanya memegang tanganku dan mendudukanku untuk menanyaiku. Kebetulan aku mendengar seruan Hatif [suara tanpa rupa]: “Wahai kedua malaikat, tinggalkanlah seorang hamba-Ku ini! Tidak usah kalian tanya dan tidak usah kalian takut-takuti! Sebab Aku kasih sayang kepadanya dan Aku bebaskan siksaan baginya. Karena dia seorang yang kasih sayang kepada seekor burung pipit sewaktu di dunia. Maka di akhirat Aku kasih sayang kepadanya.”  

 Kisah serupa terjadi di zaman Bani Israil. Ada seorang `âbid (ahli ibadah) melewati tumpukan pasir. Saat itu orang-orang Bani Israil dalam musim paceklik, kesulitan makanan dan kelaparan. Menyaksikan keadaan tersebut, hati sang abid tersentuh, “Seandainya tumpukan pasir ini dapat menjadi tepung, sungguh aku akan mengenyangkan perut mereka.”

Rupanya perkataan sang abid tadi didengar oleh Allah. Ia memberi wahyu kepada salah seorang nabi kaum Bani Israil agar beliau mengatakan kepada abid, “Sesungguhnya Allah telah menetapkan pahala kepadamu, Andaikan pasir itu dapat menjadi tepung lalu kamu sedekahkan.”

Coba Anda renungkan! Hanya keinginan untuk menolong sesama, Allah sudah mencatatnya sebagai pahala kebaikan. Bagaimana kiranya, jika keinginan itu diwujudkan, tentu hasilnya akan lebih baik dari itu. Nabi Muhammad saw. menegaskan: “Jika engkau menolong sesama, Tuhan pun akan menjadi penolongmu.”

Melatih Prinsip ar-Rahmân dan ar-Rahîm

Faktor paling penting yang harus Anda lakukan dengan al-Rahmân adalah berlatih dan bersungguh-sungguh setiap saat dan setiap kesempatan dengan sifat tersebut. Dalam syair penyair India, Rabindranath Tagore, “Segalanya yang tidak diberikan, akan hilang.” Nah, berusahalah menyebarkan kasih. Jangan menunggu. Lakukan sekarang, karena Anda akan merasakan hasilnya. Rûmî dalam Fîhi mâ Fîhi mengingatkan:

Demikianlah, meskipun balasan untuk kebaikan dan kejahatan dijanjikan Tuhan baru tiba pada Hari Kebangkitan, tetap saja muncul suatu keadaan yang mewakili balasan itu. Apabila manusia bergembira di dalam hatinya, itu adalah balasan karena telah membuat orang lain bahagia. Apabila sedih, itu balasan karena telah membuat orang lain sedih. Terdapat suatu bentuk balasan sebagai permisalan Hari Kebangkitan. Yang demikian agar orang dapat memahami yang banyak dari yang sedikit.

 

Dalam Baghawat Gita ditemukan bait-bait:

Evam pravartitam chakram

Nâ ‘nuvartayatî ‘ha yah

Aghâyur indriyârâmo

…………….sa jîvati

Yang tak ikut memutar roda hidup ini

Selalu hidup dalam dosa

Menikmati kehendak hawa nafsunya

……….Ia hidup sia-sia.

Munajat

Tuhanku Ya Rahmân, Yang Maha mencurahkan rahmat kasih sayang kepada seluruh wujud…Wahai Tuhan Yang Engkau cakup segala sesuatu dengan rahmat dan pengetahuan,…tampak rahmat-Mu pada setiap butir wujud di alam raya ini,…Kami tidak melihat-Nya kecuali sekelumit. Ya Allah, kami membaca tanda-tanda rahmat-Mu yang menjadikan kami tertarik menuju ke hadirat-Mu serta menenangkan hati kami dengan keluasan kasih sayang-Mu. Maka ya Allah perlihatkanlah mata hati kami cahaya keadilan-Mu serta keagungan anugerah-Mu..Wahai al-Rahmân. Wahai Allah Yang mencurahkan kasih. Ya Tuhan kami sempurnakanlah cahaya kami dan ampunilah dosa kami, sesungguhnya Engkau berkuasa atas segala sesuatu.[]